Anomali Suara Pemilu 2024: Mengapa Ganjar Tertinggal padahal Partainya Tertinggi?

ERA.id - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah melewati fase pemungutan suara pada 14 Februari lalu. Kini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang sibuk melakukan penghitungan suara yang dijadwalkan berlangsung hingga 20 Maret 2024 berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022. 

Sembari menunggu hasil rekapitulasi resmi (real count), beberapa lembaga survei sudah melakukan hitung cepat (quick count). Dan hanya dalam hitungan hari, perkiraan perolehan suara akhir masing-masing peserta pemilu sudah keluar dengan hasil cukup mengejutkan.

Semua lembaga survei menyimpulkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 bakal berlangsung satu putaran dengan kemenangan telak pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang memperoleh suara nyaris 60 persen.

Misalnya, lembaga riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) melaporkan Prabowo-Gibran unggul dengan perolehan 58,25 persen suara. Di bawahnya ada paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dengan 24,91 persen suara. Dan paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD berada paling bawah dengan 16,84 persen suara.

Hasil hitung cepat Lingkar Survei Indonesia (LSI) juga tak jauh berbeda. Prabowo-Gibran mendapat 58,47 persen suara; Anies-Muhaimin 24,98 persen; dan Ganjar-Mahfud 16,55 persen.

Begitu pula lembaga survei Indikator mencatat kemenangan Prabowo-Gibran dengan 58,17 persen suara. Sementara Anies-Muhaimin mendapat 25,38 persen dan Ganjar-Mahfud hanya 16,46 persen.

Berbagai hitung cepat lembaga survei lain menunjukkan hasil yang mirip, yaitu perolehan suara Prabowo-Gibran di atas 55 persen; Anies-Muhaimin di kisaran 25 persen; dan Ganjar-Mahfud di bawah 20 persen. Dengan hasil seperti itu, hampir dapat dipastikan siapa pemenang Pilpres 2024. Mengingat sebelumnya, hasil penghitungan KPU dengan hitung cepat tak berbeda jauh.

Meskipun metode yang digunakan berbeda, hasil hitung cepat dan real count cenderung mirip. Pada Pemilu 2019 yang diikuti dua paslon presiden dan wakil presiden (Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno), hasil real count KPU kala itu menunjukkan Jokowi-Ma’ruf memperoleh 55,50 persen suara, sedangkan lawannya 44,50 persen.

Angka itu hampir mirip dengan hasil hitung cepat 10 lembaga survei. Menurut CSIS, lembaga-lembaga survei kala itu menunjukkan Jokowi-Ma’ruf mendapat suara di kisaran 54-55 persen, sedangkan Prabowo-Sandi berkisar 44-45 persen.

Sebelumnya, pada Pemilu 2014, hasilnya juga tak terpaut jauh. Real count KPU menyatakan Jokowi-Jusuf Kalla mendapat 53,15 persen suara dan Prabowo-Hatta Rajasa 46,85 persen. Sementara hitung cepat lembaga-lembaga survei seperti Litbang Kompas mencatat raihan suara Jokowi-JK berkisar 51-52 persen dan Prabowo-Hatta di kisaran 47-48 persen.

Berdasarkan data tadi, wajar kalau Prabowo dan Gibran sudah menyampaikan pidato kemenangan setelah mereka unggul jauh dalam hitung cepat dari berbagai lembaga survei kredibel. Pidato kemenangan itu disampaikan secara meriah di hadapan para pendukung 02 pada Rabu (14/2/2024) malam di Istora Senayan, Jakarta.

Namun, meskipun suara Prabowo unggul jauh dalam pilpres, Partai Gerindra yang diketuainya tak kunjung memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan legislatif (pileg). Sebaliknya, PDI Perjuangan masih yang teratas dalam pileg, padahal Ganjar yang menjadi kadernya berada di posisi buncit dalam pilpres.

Berdasarkan laporan berbagai lembaga survei, Partai Gerindra menempati posisi ketiga di bawah PDIP dan Partai Golkar. Dari hasil final hitung cepat CSIS misalnya, Partai Gerindra meraih suara 13,91 persen, sementara Partai Golkar 15,14 persen dan PDIP mencapai 16,46 persen. 

Pihak PDIP menyebut jarak perolehan suara antara pileg PDIP dan pilpres merupakan suatu anomali yang menimbulkan dugaan kecurangan Pemilu 2024.

"Justru itulah salah satu anomalinya," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (15/2/2024).

Hasto turut menyanggah tudingan beberapa pihak yang menyebut mesin partainya tak bergerak memenangkan Ganjar-Mahfud. Ia mengklaim seluruh mesin partai pengusung sangat panas bergerak demi kemenangan jagoan mereka.

"Kalau dari sisi pergerakan mesin partai, kami pastikan itu bergerak. Dari PDI Perjuangan, PPP, Perindo, dan Hanura," tegas Hasto.

PDIP juga tengah mengumpulkan bukti-bukti dugaan kecurangan di Pemilu 2024 bersama Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud.

Politikus senior PDIP, Aria Bima mengatakan, dugaan kecurangan itu semakin kuat karena suara partai lebih tinggi ketimbang suara paslon presiden dan wakil presiden yang diusung, terutama di Jawa Tengah yang terkenal sebagai “kandang banteng”.

"Kenapa sekarang suara pileg lebih tinggi daripada suara pilpres? Karena itu, itu pertanyaan yang harus dijawab oleh semua kader termasuk saya yang ada di Solo," kata Aria kepada wartawan di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (16/2/2024).

"Inilah yang saya sebut anomali, gitu. Dan kalau saya tidak menyampaikan ini, saya tidak bisa menemukan, bisa-bisa Aria Bima tidak dilantik karena itu adalah instruksi Ketua Umum (Megawati Soekarnoputri)," ungkapnya.

Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memberi instruksi agar mesin partai bekerja maksimal memenangkan Ganjar-Mahfud. Kalau tidak, para calon anggota legislatif (caleg) terancam tak bisa dilantik oleh partai.

Mengapa perolehan suara pilpres dan pileg bisa jomplang? 

Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago mengungkapkan anomali perolehan suara pilpres dan pileg harus dilihat dari kacamata split-ticket voting, yaitu fenomena ketika pemilih memilih calon yang berbeda untuk beberapa jenis pemilihan. 

“Misalnya pileg pilih PDIP, tapi pilpresnya nyoblos Prabowo,” ujar Pangi kepada ERA, Senin (19/2/2024).

Split-ticket voting, menurut Pangi, dapat terjadi dalam dua kondisi. Pertama, penyelenggaraan pemilu secara serentak. Semakin banyak kategori pemilihan, semakin tinggi tingkat pemecahan suara (split) oleh pemilih. 

Pemilu 2024 sendiri mencakup lima kategori pemilihan, yaitu presiden dan wakil presiden; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI; Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi; dan DPRD kabupaten/kota.

“Karena banyak pemilihan, pemilih makin mungkin untuk membagi pilihannya pada tingkatan pemilu tersebut,” ujar Pangi.

Kondisi kedua yang memungkinkan terjadinya split-ticket voting adalah sistem pemerintahan presidensial seperti di Indonesia dan Amerika Serikat (AS).

“Di Amerika biasa itu pemilih memilih presiden dari Demokrat, tapi senatornya dari Republik,” kata Pangi.

Menurut pengamat politik jebolan Universitas Indonesia (UI) itu, secara umum pemilih membagi pilihannya dalam pemilu untuk menciptakan checks and balances atau keseimbangan antara legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Sehingga tak terjadi kekuasaan dominan pada kelompok tertentu.

“Pemilih dengan sengaja memilih yang berbeda antara presiden dan legislatif untuk menciptakan check and balances, sehingga terjadi equilibrium dalam pemerintahan,” ucap Pangi.

Split-ticket voting sendiri bukan pertama kali ini terjadi dalam sejarah pemilu Indonesia. Pangi memaparkan contoh-contoh perolehan suara yang berjarak antara partai politik dengan kadernya yang berlaga dalam pilpres sebelumnya. 

Misalnya pada Pemilu 2009, Partai Golkar mengusung Jusuf Kalla (JK) sebagai calon presiden (capres), tetapi banyak pemilih Golkar yang memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pilpres. Waktu itu, Golkar meraup suara 14,45 persen, sedangkan JK hanya mendapat 12,41 persen.

Adapun Partai Demokrat menjadi pemenang Pemilu 2009 dengan raihan suara 20,85 persen. Namun, angka itu masih sangat jauh dibandingkan perolehan suara paslon SBY-Boediono yang mencapai 60,80 persen.

“Artinya apa? Pemilih tidak mengikuti garis partai,” ujar Pangi.

Selain itu, menurutnya, figur tidak terlalu mempengaruhi perolehan suara partai. Maka popularitas tokoh tertentu tidak otomatis meningkatkan suara partai.

Coat-tail effect (pengaruh figur dalam meningkatkan suara partai, red.) itu sebenarnya tidak signifikan. Figur hanya leading sendiri. Misalnya di 2019, suara 10 partai gabungan koalisi pengusung Jokowi totalnya hanya 56 persen. Sementara suara yang diperoleh Jokowi sendiri sampai 62 persen,” jelas Pangi.

Suara PDIP sendiri hanya naik 1,35 persen dari pemilu sebelumnya. Sementara di kubu seberang, PKS yang mengusung Prabowo suaranya naik sekitar 2,35 persen.

“Efek figur tidak membawa apa-apa untuk partai,” tegas Pangi. “Faktanya memang sekarang PDIP dengan Jokowi? Enggak kan. Tapi dia masih bisa memimpin perolehan suara pileg.”

Pangi juga menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan split-ticket voting, antara lain programatik, party ID, dan personalisasi figur.

“Programatik maksudnya dia milih bukan karena figur, tapi karena program,” jelas Pangi sembari menyebutkan bahwa bantuan sosial (bansos) yang digelontorkan pemerintah belakangan cukup mempengaruhi pilihan masyarakat dalam pilpres.

Kedua adalah party identity, atau bagaimana seseorang merasa dekat dengan partai tertentu, baik itu menjadi anggota, kader, maupun simpatisan. 

“Seharusnya semakin tinggi party ID, semakin rendah split-ticket voting terjadi,” lanjut Pangi.

Terakhir, personalisasi figur. Menurut riset-riset yang dilakukan Voxpol Center, Pangi menjelaskan bahwa alasan orang memilih presiden itu kebanyakan karena figurnya, bukan karena partai pengusungnya. Sehingga wajar ketika pilpres kali ini Prabowo juara, tetapi partainya cuma berada di urutan ketiga.