Soroti Kasus Pungli Rutan, IM57+ Sebut Korupsi Terjadi Secara Sistemik di KPK
ERA.id - Kasus pungutan liar (pungli) di rutan yang melibatkan 15 oknum pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar panjang praktik rasuah di lembaga tersebut. Peristiwa ini pun dinilai menjadi bentuk tindakan korupsi yang sistemik di KPK.
"Apabila dilihat terjadi secara lengkap, mulai dari tahap pimpinan dengan Firli Bahuri, penyidikan dengan kasus Robin sampai dengan penahanan dengan kasus korupsi rutan. Artinya korupsi sudah terjadi secara sistemik di internal KPK," kata Ketua IM57+ Institute, M Praswad Nugraha dalam keterangan tertulisnya, Minggu (17/3/2024).
Menurut Praswad, kondisi ini terjadi sejak diberlakukannya revisi UU KPK. Sehingga independensi lembaga tersebut hilang dan menimbulkan korupsi yang masif, mulai dari tingkat pegawai sampai pimpinan.
"Ini cara pandang utama yang harus dilihat masyarakat. Jangan sampai seakan dibuat jarak bahwa rutan terjadi korupsi, sedangkan pimpinan tidak tahu apa-apa. Ini korupsi sistemik yang melembaga di KPK dan terjadi secara massif pascarevisi UU KPK," jelas Praswad.
Selain itu, IM57+ juga mengkritisi fungsi Pimpinan KPK atas berbagai pelanggaran yang terjadi di tubuh lembaga antirasuah ini. Praswad mengatakan, terungkapnya kasus pungli di rutan membuat Pimpinan KPK harus mundur dari jabatannya lantaran gagal menjaga integritas lembaganya.
"Berangkat dari persoalan tersebut seharusnya pimpinan saat ini diberhentikan karena gagal menjaga integritas kelembagaan dan bahkan terjadi secara masif. Tidak tahu malunya Pimpinan KPK dengan terus mempertahankan jabatan akan menjadi daya rusak berkelanjutan terhadap KPK," tegas dia.
Sebelumnya, KPK resmi mengumumkan dan menahan 15 oknum pegawainya dalam kasus pemerasan berupa pungli di Rutan KPK. Dari jumlah tersebut diantaranya merupakan Kepala Rutan KPK Achmad Fauzi, eks Plt Karutan KPK Deden Rochendi dan Ristanta, serta Hengki yang merupakan mantan Koordinator Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) Rutan.
Para tersangka diketahui mengumpulkan uang mencapai Rp6,3 miliar sejak 2019-2023. Uang tersebut didapat dari para tahanan kasus korupsi dengan jumlah yang beragam antara Rp300 ribu hingga Rp20 juta.
Para tahanan yang memberikan duit bisa mendapatkan fasilitas khusus, seperti menggunakan handphone dan powerbank, hingga mendapatkan informasi mengenai sidak.
Sementara itu, tahanan yang tidak membayar atau terlambat menyetor diberi perlakuan kurang nyaman. Diantaranya kamar tahanan dikunci dari luar, pelarangan dan pengurangan jatah olahraga, serta mendapat jatah jaga dan piket kebersihan lebih banyak.
Adapun penyerahan uang dilakukan secara langsung maupun lewat rekening bank penampung yang dikendalikan oleh petugas rutan yang disebut sebagai 'lurah' dan korting.