Mengenal Sejarah THR, Regulasi, dan Maknanya
ERA.id - Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan hak bagi semua pekerja di Indonesia yang diberiakan menjelang perayaan hari besar keagamaan. THR juga masuk dalam tanggungan perusahaan yang diwajibkan pemerintah untuk dibayarkan kepada pekerja.
Maka tak heran bila pemberian THR menjadi momen yang dinanti-nanti, sebagai tambahan penghasilan untuk menyambut hari raya.
Lantas, bagaimana awal mula THR diberlakukan di Indonesia?
Mengenal Sejarah THR
Dilansir dari laman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, berikut ini beberapa hal mengenai THR di Indonesia, mulai dari asal-usul, penggagas, dan perkembangannya.
Kapan dan bagaimana tradisi THR pertama kali muncul?
Awal mula dari tradisi THR dapat ditelusuri kembali ke tahun 1950-an, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo. Perdana Menteri ke-6 Indonesia ini, mempelopori pemberian THR pada tahun 1951.
Kebijakan THR merupakan bagian dari program kerjanya untuk meningkatkan kesejahteraan para pamong pradja (sekarang PNS). Saat itu, kondisi perekonomian Indonesia sedang stabil, dan pemerintah ingin memberikan penghargaan kepada para pegawai negeri atas kontribusi mereka.
Besarnya THR PNS pada masa itu berkisar antara Rp 125 hingga Rp 200, yang setara dengan Rp 1,1 juta hingga Rp 1,75 juta dengan nilai kurs saat ini. Kebijakan ini kemudian memicu tuntutan dari para buruh di perusahaan swasta yang menginginkan hal serupa.
Bagaimana perjalanan regulasi THR di Indonesia?
Tuntutan para buruh mendorong pemerintah untuk mengatur pemberian THR secara lebih komprehensif. Hal ini diwujudkan melalui berbagai peraturan, seperti Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 10/Men/1961 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977.
Sejarah Singkat Penetapan THR di Indonesia
Di era Orde Baru, Menteri Tenaga Kerja kemudian mengambil langkah penting dengan meluncurkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan.
Aturan THR tersebut kemudian menjadi tonggak sejarah bagi para pekerja, karena untuk pertama kalinya hak mereka untuk mendapatkan THR diakui secara hukum.
Barulah empat tahun setelah Reformasi, tepatnya pada tahun 2003, pemerintah memperkuat aturan mengenai THR dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang Nomor 13 tahun 2013 memuat ketentuan yang lebih detail tentang THR, termasuk besarannya, waktu pembayarannya, dan sanksi bagi perusahaan yang tidak memberikan THR.
Apa saja makna dan tujuan di balik tradisi THR?
Dahulu, Tunjangan Hari Raya (THR) identik dengan pemberian uang kepada pekerja menjelang hari raya. Namun, seiring berkembangnya zaman, makna THR meluas dan tak lagi terbatas pada pekerja dan uang.
Kini, THR diartikan sebagai bentuk kepedulian dan kasih sayang yang diwujudkan dengan berbagai pemberian, baik kepada pekerja, keluarga, maupun masyarakat luas. Bentuknya pun beragam, tak hanya uang, tapi juga sembako, makanan ringan, kue lebaran, sirup, pakaian, dan lain sebagainya.
Kemudian di dunia kerja, pemberian THR tak hanya sebatas uang. Banyak perusahaan yang memberikan THR dalam bentuk sembako dan keperluan lainnya.
Secara sosial, THR menjadi simbol hubungan baik dan kepedulian antar manusia, yang terjalin secara istiqomah. Oleh karena itu, perusahaan atau lembaga yang memiliki banyak tenaga kerja dianggap pelit jika tidak memberikan THR sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, makna THR telah meluas dan tak lagi terbatas pada uang dan pekerja. THR kini menjadi simbol kepedulian dan kasih sayang yang diwujudkan dengan berbagai pemberian kepada orang-orang terkasih dan masyarakat luas.
Selain mengenal sejarah thr, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Ingin tahu informasi menarik lainnya? Jangan ketinggalan, pantau terus kabar terupdate dari ERA dan follow semua akun sosial medianya! Bikin Paham, Bikin Nyaman…