Inggris Akui Skandal Darah yang Sebabkan Ribuan Orang Terinfeksi HIV, Siap Bayar Kompensasi ke Ribuan Korban

ERA.id - Pemerintah Inggris mengatakan ribuan korban skandal darah yang terinfeksi di Inggris akan mulai menerima pembayaran kompensasi pada akhir tahun. Mereka akan menerima pembayaran sementara terlebih dahulu sebesar 210.000 pound sekitar Rp4,2 miliar masing-masing setelah terinfeksi hepatitis dan HIV.

"Pemerintah akan memberikan pembayaran sementara lebih lanjut sebelum pembentukan skema penuh,” kata Menteri John Glen kepada parlemen, dikutip ABC News, Rabu (22/5/2024).

Keputusan pemerintah Inggris ini terjadi sehari setelah sebuah laporan menyalahkan negara dan dokter atas kegagalan yang menewaskan lebih dari 3.000 orang.

Laporan tersebut mengatakan pemerintah Inggris berturut-turut menolak mengakui kesalahannya dan berusaha menutupi skandal tersebut, yang diperkirakan menyebabkan 3.000 orang meninggal setelah menerima darah atau produk darah yang terkontaminasi.

Secara total, laporan tersebut menyebutkan sekitar 30.000 orang terinfeksi HIV atau hepatitis C, sejenis infeksi hati, selama periode tersebut.

Skandal ini dipandang sebagai bencana paling mematikan dalam sejarah Layanan Kesehatan Nasional (National Health Service) yang dikelola pemerintah Inggris sejak didirikan pada tahun 1948.

“Harapan kami adalah pembayaran akhir akan dimulai sebelum akhir tahun ini,” katanya.

Pembayaran kompensasi sementara ini akan dilakukan dalam waktu 90 hari, sebelum pembentukan perjanjian soal rencana pembayaran penuh. Glen mengatakan kerabat atau teman yang merawat para korban yang terinfeksi juga berhak menuntut kompensasi.

Pihak berwenang melakukan pembayaran sementara pertama sebesar 100.000 pound pada tahun 2022 kepada setiap orang yang selamat dan pasangan yang berduka. Glen tidak mengkonfirmasi total biaya paket kompensasi, meskipun dilaporkan lebih dari 10 miliar pound.

Para pegiat telah berjuang selama beberapa dekade untuk mengungkap kegagalan pemerintah dan mendapatkan kompensasi dari pemerintah. Penyelidikan tersebut akhirnya disetujui pada tahun 2017, dan selama empat tahun terakhir penyelidikan tersebut meninjau bukti dari lebih dari 5.000 saksi dan lebih dari 100.000 dokumen.

Banyak dari mereka yang terkena dampak adalah penderita hemofilia, suatu kondisi yang mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku. Pada tahun 1970-an, pasien diberikan pengobatan baru dari Amerika Serikat yang mengandung plasma dari donor berisiko tinggi, termasuk narapidana, yang dibayar untuk mendonorkan darah.

Karena produsen pengobatan mencampurkan plasma dari ribuan donasi, satu donor yang terinfeksi akan membahayakan keseluruhan batch.

Laporan tersebut menyebutkan sekitar 1.250 orang dengan kelainan pendarahan, termasuk 380 anak-anak, terinfeksi produk darah yang tercemar HIV. Tiga perempat dari mereka telah meninggal. Hingga 5.000 orang lainnya yang menerima produk darah tersebut menderita hepatitis C kronis.

Diperkirakan 26.800 orang lainnya juga terinfeksi hepatitis C setelah menerima transfusi darah, yang sering diberikan di rumah sakit setelah melahirkan, pembedahan atau kecelakaan, demikian laporan itu.

"Bencana ini sebenarnya bisa dihindari jika para pejabat mengambil langkah-langkah untuk mengatasi risiko yang diketahui terkait dengan transfusi darah atau penggunaan produk darah," laporan tersebut menyimpulkan, menambahkan bahwa Inggris tertinggal dari banyak negara maju dalam menerapkan pemeriksaan ketat terhadap produk darah dan donor darah pilihan.

Kerugian yang ditimbulkan diperparah oleh sikap penyembunyian dan budaya defensif dalam pemerintahan dan layanan kesehatan, tambah penyelidikan tersebut.