Mesir Bantah Jalin Kerja Sama dengan AS Soal Pemindahan Warga Palestina dari Gaza

ERA.id - Mesir membantah terlibat perjanjian dengan Amerika Serikat soal warga Palestina yang akan meninggalkan Gaza. Tuduhan ini menuding Mesir dan AS sudah menyiapkan daftar nama pelajar dan pasien yang ingin meninggalkan Jalur Gaza.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Ahmed Abu Zeid menegaskan bahwa kabar itu tidak berdasar. Zeid juga menegaskan tidak ada panggilan telepon yang terjadi antara Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken untuk membahas pendaftaran pasien dan pelajar yang ingin meninggalkan Gaza.

"Laporan ini tidak berdasar. Tidak ada kontak yang terjadi, dan tidak benar adanya pengaturan semacam ini," kata Zeid di sosial media X, Selasa (25/6/2024).

Perlintasan perbatasan Rafah antara Mesir dan Jalur Gaza merupakan satu-satunya jalan keluar bagi pasien dan pelajar Palestina sebelum ditutup akibat serangan Israel terhadap kota Rafah, yang dipenuhi pengungsi Palestina.

Bulan lalu, tentara Israel merebut perbatasan Rafah di sisi Palestina, yang merupakan satu-satunya jendela bagi dunia luar di perbatasan Mesir. Sejak saat itu, terminal tersebut ditutup, sehingga memperburuk kondisi kemanusiaan yang sudah sulit di wilayah Palestina.

Sebelumnya Senin pagi (24/6), saluran Al-Qahera News yang berafiliasi dengan pemerintah Mesir, mengutip sumber senior Mesir, menegaskan kembali penolakan Mesir untuk menjalankan penyeberangan Rafah melalui koordinasi dengan Israel.

Kantor media pemerintah di Jalur Gaza menuduh tentara Israel tidak mengizinkan bantuan masuk ke Jalur Gaza kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas sejak pendudukan mereka di penyeberangan Rafah.

Pembicaraan tidak langsung antara Israel dan Hamas, yang dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata permanen di Gaza, menemui jalan buntu.

Israel, yang mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, telah menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutal yang terus berlanjut di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu.