Jejak Kelam Adiguna Sutowo, dari Anak Konglomerat ke Pembunuh Pelayan Bar

ERA.id - Adiguna Sutowo lahir di Jakarta, 32 Mei 1958. Ia lahir sebagai "sendok emas". Ayahnya, Ibnu Sutowo, adalah bos Pertamina yang berhasil membuat Pertamina menjadi gurita bisnis. Ibnu pun menjadi kaya raya dari jabatannya dan punya banyak bisnis sendiri.

Namun, Ibnu pun terkenal akan monopoli bisnis perminyakan dan dugaan korupsi yang bombastis. Anehnya, ia sama sekali tak disentuh Soeharto selama masa jabatannya kecuali saat ia akhirnya dipecat. Saking kebal hukumnya, Ibnu disebut "The Untouchable Man".

Ada kisah saat Presiden Soeharto masuk ke sebuah ruangan, hanya Ibnu yang berani tak berdiri, bahkan tepuk tangan untuk sang diktator pun tidak. Sejak Adiguna kecil, sebagai anak bungsu, ia sudah familiar dengan gaya hidup glamor dan royal yang diberikan ayahnya.

Dimanja habis-habisan oleh sang ibu, Adiguna terkenal sering bolos sekolah semasa SMA untuk berburu di hutan, tapi nilainya selalu bagus. Ia juga diizinkan untuk mengemudi mobil Mercedes-Benz ke sekolahnya dulu sebelum ia kuliah ke University of Southern California.

Namun, suatu peristiwa mengubah citra Adiguna selamanya. Pada 1 Januari 2005, ia membunuh seorang pria tak bersalah. Pada 1 Januari 2005. Malam tahun baru! Ibukota Jakarta tentu dipenuhi hingar bingar mereka yang berpesta merayakan pergantian tahun dari 2004 ke 2005.

"Jakarta never sleeps," katanya.

Di antara mereka yang aktif berpesta dan merayakan adalah Adiguna Sutowo, istri keduanya Vika Dewayani, Novia Hendriana "Tinul", dan Thomas "Tom" Edward Sisk.

Pada malam pergantian tahun, mereka merayakan di Klub Dragonfly, Jakarta. Kemudian, mereka ke Hotel Hilton, hotel yang dimiliki oleh keluarga Sutowo. Setelahnya, pada pukul 3 pagi, Adiguna, Tinul, dan Tom keluar kamar Adiguna untuk lanjut berpesta di Klub Fluid, klub yang ada di hotel itu.

Klub itu berisi berbagai pengunjung lain. Masih dengan semangat euforia tahun baru, banyak orang asyik berdansa dan mengobrol, entah dalam keadaan sadar atau mabuk.

Pada pukul 4.40 pagi, Tom berpisah dengan Adiguna dan Tinul, yang pergi ke bar. Tinul memesankan vodka tonic untuk Adiguna sedangkan ia sendiri memesan martini leci.

Pelayan mereka adalah Yohannes Brachmans Haerudy Natong. Saat itu, usia Rudy 25 tahun dan ia bekerja paruh waktu di Hilton untuk membiayai kuliah hukumnya di Universitas Bung Karno.

Tinul bertanya pada Rudy apakah tagihan minumannya dan Adiguna bisa disatukan dengan tagihan kamarnya. Rudy mengatakan tidak bisa. Tinul pun membayar dengan kartu kreditnya. Setelahnya, Adiguna memesan lagi minuman yang sama untuk dirinya dan Tinul.

Adiguna berniat membayar dengan kartu debit BCA-nya. Namun, mesin kartu debit di kasir sedang tidak berfungsi sehingga Rudy mengatakan kartu debit tidak bisa dipakai.

Penolakan ini mengesalkan Tinul, yang membentak Rudy dan menunjuk Adiguna di sebelahnya.

"Lu enggak mandang dia siapa? Dia pemilik saham terbesar hotel ini!" katanya.

Adiguna naik pitam. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan menodong pistol Smith & Wesson berkaliber 22 ke kening Rudy. Adiguna menarik pelatuknya dan peluru pun menembus kepala Rudy.

Kematian Rudy hampir tak disadari siapapun kecuali orang-orang yang ada di dekat Adiguna. Suara dentuman peluru tak beda jauh dengan suara musik bising di club dan semuanya lanjut berdansa.

Panik, Adiguna kabur setelah menyerahkan pistolnya ke Wewen, seorang DJ. Musik diberhentikan. Pengunjung klub bingung sebelum mereka syok dan ketakutan melihat Rudy terkapar tak bernyawa dengan lubang peluru di keningnya.

Beberapa jam kemudian, Adiguna resmi ditetapkan sebagai tersangka. Di kamarnya, Room 1564, ditemukan 19 peluru. Tipe peluru-peluru yang disembunyikan di toilet itu sama dengan peluru yang membunuh Rudy.

Menurut polisi, Adiguna berada dalam pengaruh berat sabu-sabu dan alkohol saat ia menembak Rudy. Di pagi hari pembunuhan, Adiguna mimisan yang diduga karena hisapan narkoba lewat hidung. Melalui tes darah dan urin, ditemukan Adiguna positif sabu dan phenmetrazine.

Adiguna ditangkap dan jaksa menuntutnya hukuman penjara seumur hidup karena selain membunuh orang, ia juga positif pemakai narkoba dan memiliki pistol ilegal.

Seharusnya, kasus kelar, bukan? Faktanya, tuntutan seumur hidup jaksa hanya dipenuhi sebanyak 7 tahun oleh hakim. Ini karena para saksi kunci (Tinul, Wewen, housekeeper hotel Harry Gunawan Isa, dan bartender Cut Nina) tiba-tiba mengubah kesaksian mereka.

Sebelumnya, mereka bilang mereka lihat Adiguna menembak. Namun, di ruang sidang, mereka memberikan kesaksian yang lebih kabur kalau mereka tak lihat langsung Adiguna menembak.

Kemudian, ada pula tes narkoba yang dilakukan setelah tes pertama yang tiba-tiba menyebutkan kalau Adiguna negatif dari semua substansi narkoba.

Ayah Rudy di kampungnya di Flores pun menulis surat "pengampunan" untuk Adiguna dan memohon pada hakim untuk meringankan hukuman Adiguna usai orang-orang suruhan Adiguna datang ke kampung Rudy serta memberikan uang duka yang tak diketahui jumlahnya.

Adiguna pun akhirnya divonis hanya 7 tahun penjara. Meskipun di penjara, Adiguna diletakkan di "sayap eksekutif" Penjara Salemba: tawanya terdengar ceria di penjara dan ia bisa memesan Starbucks serta nasi padang.

Sudah dipangkas, waktu penjara Adiguna dipangkas lebih jauh lagi. Ia dibebaskan pada 14 Desember 2007, kurang dari 3 tahun sejak ia dipenjara, karena "berperilaku baik". Padahal, selama sidang dan proses hukum, ia sering tidak datang, datang terlambat, dan membawa preman.

Pengurangan masa hukuman Adiguna rupanya didasari bahwa ia sudah dihukum oleh media padahal ia "masih muda, punya keluarga, sopan saat sidang, dan ini baru catatan kriminal pertamanya".

Sungguh, anak dari "The Untouchable Man".

Laporan: Farah Tifa

Referensi:

Salinan putusan Mahkamah Agung nomor 107 PK/Pid/2006