PDIP Ungkap Tiga Kemungkinan Alasan Jokowi Copot Yasonna Laoly dari Jabatan Menkumham
ERA.id - DPP PDI Perjuangan (PDIP) mengkritisi soal reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap beberapa menteri, termasuk salah satu kadernya, yakni Yasonna Laoly dari jabatan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Menurut partai berlogo banteng ini, ada tiga kemungkinan yang jadi alasan Jokowi mencopot Yasonna.
Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat mengatakan, pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan hak prerogatif Jokowi sebagai presiden. Namun, hal ini dinilai janggal karena dilakukan kurang dari dua bulan sebelum masa jabatan habis.
"Kita perlu memberikan catatan dan pertanyaan. Pertama, apakah Pak Yasonna di-reshuffle padahal kabinet kurang dua bulan itu karena alasan strategis terkait efektivitas pemerintahan atau karena alasan politis," kata Djarot dalam konferensi pers di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Senin (19/8/2024).
Djarot menduga, kemungkinan pertama Yasonna dicopot karena menandatangani Surat Keputusan (SK) kepengurusan baru DPP PDIP. Dia menyebut, Yassona memberikan persetujuan tanpa memberitahu Jokowi.
"Pak Yasona mungkin ditegur karena tidak meminta persetujuan kepada presiden atas pengesahan perpanjangan kepengurusan DPP Partai kemarin. Karena pengesahan kepengurusan partai harus melalui Kemenkumham," jelas Djarot.
Kemungkinan kedua, sambung dia, yakni Yassona diduga dipermasalahkan lantaran menghadiri deklarasi Eddy Rahmayadi sebagai bakal calon gubernur (cagub) di Pilkada Sumatera Utara. Seperti diketahui, menantu Jokowi, Bobby Nasution juga maju menjadi cagub dalam kontestasi tersebut.
"Kedua, apakah Pak Yasonna diberhentikan karena sebagai kader partai beliau kemarin mengikuti acara deklarasi di Medan, yaitu deklarasi untuk mencalonkan Eddy Rahmayadi. Tapi partai menganggap silakan saja asalkan betul-betul itu (reshuffle) dilakukan secara benar dan baik," jelas dia.
Kemungkinan ketiga, Djarot mengatakan, berkaitan dengan ketidakhadiran Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih periode 2024-2029 saat pelantikan menteri baru tersebut. Bagi PDIP, jelas dia, etika pemerintahan yang benar adalah seorang presiden tidak mengambil keputusan strategis di akhir masa jabatan, agar tak mewariskan beban masalah untuk pemerintahan berikutnya.
"Kita juga mempertanyakan apakah reshuffle kabinet itu juga hasil dari Pak Jokowi dengan presiden terpilih, yaitu Pak Prabowo? Karena kita lihat tadi Pak Prabowo tidak menghadiri acara pelantikan dan pengambilan sumpah ya, reshuffle tadi pagi saya melihat beliau tidak hadir," ucap Djarot.
Oleh karena itu, Djarot mengungkapkan, PDIP melihat reshuffle ini bertujuan untuk kepentingan pribadi.
"Kami anggap bahwa ini merupakan suatu peristiwa politik dan menjadi event atau kesempatan dari Pak Jokowi untuk mengkonsolidir kekuasaannya, kekuatannya dalam rangka mengontrol atau mendesakkan orang-orangnya pada pemerintahan yang akan datang itu," ungkap Djarot.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPP PDIP, Rokhmin Dahuri juga menyatakan wajar jika publik menganggap ada 'udang dibalik batu' dalam keputusan reshuffle kabinet. Ia mengingatkan bahwa segala sesuatu kebijakan negara yang berbasis kepentingan pribadi seseorang, akan menghasilkan hal tak baik bagi bangsa maupun negara.
"Jadi sekali lagi kalau segala macam untuk kepentingan pribadi keluarga itu tidak baik untuk bangsa dan implikasinya akan sangat membebani presiden terpilih berikutnya," kata Rokhmin.
"Kalau keputusan itu hanya untuk keluarga dan nepotisme dan politis, itu amat berbahaya bagi Indonesia," sambungnya.