Mengenal Chun Doo Hwan, Diktator Berdarah Korea Selatan Pelaku Kudeta Demi Ambisi Pribadi
ERA.id - Situasi politik yang diwarnai dengan aksi kudeta bukan hanya melanda Indonesia, tetapi juga Korea Selatan. Chun Doo Hwan, tokoh utama kudeta berdarah menjadi tokoh penting sejarah kelam pemerintahan Korea Selatan.
Chun Doo Hwan merupakan mantan diktator militer yang merebut kekuasaan melalui kudeta. Aksi kudeta itu dilakukan Chun pada tahun 1979 ketika Park Chung Hee menjabat sebagai presiden.
Chun saat itu menjabat sebagai komandan Divisi Infanteri ke-1 Angkatan Darat Republik ditunjuk oleh Park sebagai Komando Keamanan Pertahanan (DSC), yang bertugas untuk memerangi kudeta.
Chun Doo Hwan kudeta pemerintahan setelah Presiden Park terbunuh
Namun Chun justru berkhianat dengan melakukan kudeta kepada Park. Aksi kudeta ini dilakukan Chun saat Park tewas dibunuh oleh direktur KCIA, badan mata-matanya sendiri saat pesta minum-minum.
Park yang terbunuh pada tahun 1979 itu menjadikan Chun obsesi untuk menduduki pemerintahan. Chun bahkan melakukan berbagai cara, termasuk menunjuk jenderal Roh Tae Woo sebagai rekannya dalam mengkudeta pemerintahan.
Ia bersama dengan Roh menangkap jenderal Jeong Seung Hwa, bos mereka dan komandan darurat militer serta staf kepala angkatan darat. Mereka lantas memindahkan pasukan ke Seoul untuk menyelesaikan kudeta.
"Itu adalah pemberontakan kotor yang tidak memiliki tujuan lain selain untuk memuaskan keserakahan pribadi Chun Doo-hwan," kata Jenderal Jeong, sebagaimana dikutip NYTimes, Jumat (23/8/2024).
Selama 'diculik' oleh tim Chun, Jeong mengaku mengalami penyiksaan sadis seperti dicambuk dan disiksa dengan teknik waterboarding demi mendapat pengakuan palsu atas keterlibatan pembunuhan Park Chung Hee.
Chun berlakukan darurat militer, Korea Selatan berdarah
Sejak saat itu, Chun memberlakukan darurat militer di negara; menutup Parlemen dan universitas; menahan para pembangkang terkemuka termasuk dua pemimpin oposisi utama; Kim Young Sam dan Kim Dae Jung.
Pada Mei 1980, kumpulan massa turun ke jalan untuk memprotes tindakan Chun. Mereka membawa poster dan meneriakkan 'turunkan Chun Doo Hwan'. Gerakan ini dikenal dengan nama 'Pembantaian Gwangju', yang memakan korban jiwa.
Sayangnya aksi demo itu justru diwarnai dengan insiden berdarah yang mematikan. Chun mengerahkan pasukan militer yang membawa tongkat dan bayonet, serta melepaskan tembakan. Beberapa pengunjuk rasa mempersenjatai diri dengan senjata yang dicuri dari kantor polisi.
Mereka menjalankan misi mereka dengan kebrutalan yang mengejutkan. Tentara memukul dan menusuk demonstran dengan bayonet. Mereka menerobos masuk ke kedai kopi dan menyerbu bus, dengan kejam memukuli anak muda seusia mahasiswa.
Tentara menggunakan penyembur api pada pengunjuk rasa. Tindakan keras itu menelan korban setidaknya 191 jiwa menurut hitungan resmi, termasuk 26 tentara dan polisi. Tetapi berdasarkan pengakuan keluarga korban, jumlah korban tewas jauh lebih tinggi.
Pemberontakan itu membuat Kim Dae Jung dijatuhi hukuman mati atas tuduhan palsu menghasut pemberontakan Gwangju atas perintah Korea Utara.
Namun Chun membantah memberi mandat untuk menembak para pengunjuk rasa. Dia mengaku tidak terlibat dalam 'Pembantaian Gwangju' seperti yang dituduhkan.
"Saya tidak ada hubungannya dengan insiden Gwangju. Sebagai seorang tentara, saya melihat negara ini dalam situasi yang sulit, dan saya harus menjadi presiden karena tidak ada cara lain. Saya tidak ingin menjadi presiden," katanya saat itu.
Setelah pembantaian di Gwangju, Chun menunjuk dirinya sendiri sebagai presiden oleh dewan elektoral yang diisi oleh delegasi pro-pemerintah. Ia pun memaksa media berita negara untuk ditutup atau bergabung dengan surat kabar dan stasiun TV yang dikendalikan oleh pemerintahannya.
Kondisi Korea Selatan dibawah pimpinan Chun saat itu pun tergolong mengerikan. Seluruh pemberitaan di televisi harus menayangkan kegiatan sehari-hari Chun di jam tayang utama.
Bahkan Chun tidak segan untuk menyeret para pembangkang, aktivis mahasiswa, dan jurnalis ke ruang penyiksaan.
Di bawah program "pemurnian sosial" Chun, pemerintah menangkap puluhan ribu gangster, tunawisma, pembangkang politik, dan orang lain yang dianggap sebagai elemen masyarakat yang tidak sehat dan mengangkut mereka ke barak militer untuk dididik ulang secara brutal. Ratusan orang dilaporkan tewas akibat program tersebut.
Korea Utara sempat coba bunub Chun
Tindakan Chun ini pun membuat murka Korea Utara, yang berusaha untuk membunuhnya. Saat itu, Korea Utara memasang bom yang ditanam oleh agen-agennya ketika Chun mengunjungi Burma tahun 1983, yang saat ini dikenal dengan Myanmar.
Bom itu menewaskan 21 orang, termasuk beberapa menteri kabinet Korea Selatan. Tetapi Chun lolos dari serangan itu karena kedatangannya ditunda.
Seiring berjalannya waktu, kepemimpinan Chun pun runtuh. Dia menunjuk Roh Tae Woo sebagai penggantinya. Namun penunjukan itu lagi-lagi diwarnai aksi protes besar-besaran yang dipicu oleh kematian seorang aktivis mahasiswa yang disiksa.
Para pendemo menuntut agar proses pemilihan presiden dilakukan melalui pemilihan umum. Roh pun menyetujui hal itu dan terpilih secara langsung di negara itu dalam 16 tahun.
Terpilihnya Roh ini disebut berkat perpecahan suara oposisi antara dua kandidat pembangkang, Kim Young Sam dan Kim Dae Jung. Mereka tidak percaya pada pemerintahan militer.
Di sisi lain, Chun berusaha untuk melarikan diri dari tuntutan masyarakat yang memintanya untuk dihukum. Dia mengasingkan diri di biara Buddha terpencil.
Namun persembunyian Chun terbongkar saat Kim Young Sam berkuasa pada tahun 1993. Kim mengejar Chun, Roh, dan mantan jenderal lainnya yang dulunya dianggap tak tersentuh.
Selama pemerintahan Kim Young Sam, jaksa penuntut mengatakan tentang pemberontakan Desember 1979 bahwa "kudeta yang berhasil tidak dapat dihukum." Setelah hal ini memicu perlawanan publik yang intens, Majelis Nasional bergerak pada tahun 1995 untuk mengesahkan Undang-Undang Khusus tentang Gerakan Demokratisasi 18 Mei, dan Chun serta Roh didakwa.
Chun dijatuhi penjara seumur hidup
Pada bulan April 1997, Mahkamah Agung menegakkan hukuman penjara seumur hidup untuk Chun dan hukuman 17 tahun untuk Roh. Sebuah preseden untuk "menghukum kudeta yang berhasil" telah ditetapkan.
Chun juga diperintahkan untuk mengembalikan 220 miliar won kepada negara yang telah ia kumpulkan secara ilegal melalui penyuapan. Tetapi dia mengaku tidak memiliki cukup uang untuk membayar denda.
Para kritikus pun menuduhnya menyembunyikan aset dalam perawatan kerabat. Jaksa sejauh ini hanya mengumpulkan separuh dari jumlah tersebut, meskipun mereka menggerebek rumahnya untuk menyita apa pun yang mereka bisa, termasuk sebuah lemari es dan dua ekor anjing.
Sejak saat itu, tidak ada lagi organisasi swasta dengan militer yang mampu merencanakan dan melaksanakan kudeta dengan hati-hati yang menentang rantai komando resmi seperti yang dilakukan Chun dan sekutunya di masa lalu.
Chun Doo Hwan meninggal dunia pada 23 November 2021 dalam usia 90 tahun di kediamannya di Seoul, Korea Selatan.