Dianggap Berdampak Besar bagi Masa Depan, Pendidikan Perubahan Iklim Masuk Panduan Kurikulum Merdeka
ERA.id - Krisis iklim merupakan masalah global yang perlu dihadapi bersama. Generasi muda yang paling merasakan dampaknya di masa depan harus dipersiapkan agar mampu merespons dan berkolaborasi menciptakan solusi terhadap tantangan ini.
Menjawab kekhawatiran ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) mengadakan giat bertajuk “Bergerak Bersama untuk Pendidikan Perubahan Iklim dalam Kurikulum Merdeka”.
Panduan yang merupakan bagian dari Kurikulum Merdeka ini diharapkan bisa membantu satuan pendidikan dan pemerintah daerah dalam menerapkan pendidikan terkait kesadaran perubahan iklim dan langkah-langkah kecil yang bisa dilakukan oleh semua warga satuan pendidikan, termasuk guru, murid, dan orang tua.
Kepala BSKAP Kemendikbudristek, Anindito Aditomo menjelaskan pentingnya pemahaman dan kesadaran sejak dini terhadap isu perubahan iklim yang juga dapat terjadi karena aktivitas manusia (antropogenik).
“Dengan kesadaran dan pemahaman yang ditanamkan sejak dini, anak-anak bisa mempersiapkan diri dan berperan aktif dalam merespons perubahan iklim," ungkap Anindito, dari keterangan resmi Kemendikbudristek yang diterima ERA.
"Krisis iklim yang sedang terjadi akan sangat dirasakan oleh anak-anak dan generasi muda di masa depan, yang nantinya akan berdampak sangat besar pada hasil belajar dan kesejahteraan hidup mereka,” lanjutnya.
Anindito mengaku pendidikan perubahan iklim menggunakan prinsip dan pendekatan RAMAH dalam Kurikulum Merdeka pada penerapan pendidikan perubahan iklim, yakni Relevan, Afektif, Merujuk Pengetahuan, Aksi Nyata, dan Holistik.
Suyanti Supardi, Pendiri dan Kepala Sekolah Alam Pacitan, memaparkan bahwa ia bersama warga sekolah telah menyusun 18 program pembelajaran terkait lingkungan, yang dikembangkan dan dikemas secara menyenangkan.
"Program pembelajaran yang menyenangkan dapat membuat pendidikan perubahan menjadi menarik dan diharapkan mampu menumbuhkan minat anak murid,” jelasnya.
“Gerakan ini berangkat dari adanya kesadaran, selain itu langkah persuasif juga harus dilakukan ke berbagai pihak dengan memberikan contoh perilaku yang telah dilakukan. Gerakan ini tidak bisa dilakukan sendirian, harus ada dukungan dari keluarga, warga sekitar, dan pihak-pihak lain yang terkait yang juga bisa memberikan kontribusi besar dalam mengintegrasikan pendidikan perubahan iklim,” lanjutnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Barat, Lobu Ori, menjelaskan bahwa mereka berangkat dari kondisi lokal, karena dampak perubahan iklim ini terasa sekali di daerahnya yang ada di daerah 3T.
Ia juga menjelaskan bagaimana daerahnya diterpa kondisi kemiskinan yang ekstrim. Oleh karena itu, menurutnya pendidikan perubahan iklim ini relevan bagi dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Ori juga menyampaikan pendidikan perubahan iklim tidak hanya meningkatkan capaian pembelajaran.
“Anak-anak-bisa juga belajar tentang literasi dan numerasi. Contohnya, ketika mereka menulis nama pohon. Mereka belajar menulis nama pohon dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa daerah, bahkan bahasa Latin," kata Lobu Ori.
"Tapi yang terpenting, murid juga lebih senang dan bahagia ketika mereka datang belajar ke sekolah. Kami sangat bersemangat melakukan hal ini dan kami harap pemerintah bisa terus membantu, mendukung, dan mengapresiasi kami dalam bentuk apa pun,” lanjutnya.
Pembelajaran tentang perubahan iklim tentu memiliki tantangan karena warga sekolah terdiri dari orang-orang yang sangat beragam. Tapi, menurut Ori kemitraan yang daerahnya lakukan dengan berbagai mitra pembangunan terus mendorong beragam perjuangan dalam menanggulangi tantangan di daerahnya.
Siti Kamila, guru SMP Negeri 3 Putik, Kabupaten Kepulauan Anambas pada kesempatannya memaparkan latar belakang dari inisiasi penerapan pembelajaran yang dilakukan didasari oleh kondisi lingkungan dan pengaruh iklim di Kepulauan Anambas.
Berangkat dari kondisi tersebut, sebagai guru, Siti merasa pembelajaran yang dilakukan haruslah menciptakan solusi dari keterbatasan yang ada, sehingga mampu meningkatkan kemampuan anak murid.
“Biasanya orang melihat sekolah kami sudah cantik dan rapi, kemudian merasa hal tersebut bisa terjadi karena harus beli banyak hal baru. Padahal, sekolah kami bisa cantik dan rapi karena pintar memanfaatkan sumber daya yang ada,” jelas Siti.
Anindito mengapresiasi berbagai sekolah di Indonesia yang telah memulai inisiasi baik dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.
"Panduan Pendidikan Perubahan Iklim ini merupakan alat bantu dalam implementasi. Sekolah dapat menerapkan pendidikan perubahan iklim secara fleksibel dan menggunakan sumber daya yang ada. Kami berharap melalui panduan ini berbagai praktik baik yang sudah berjalan bisa menjadi inspirasi yang lebih masif lagi." ujar Anindit