Tak Terima OSO Dicoret, Kader Hanura Demo KPU
Dalam orasinya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Hanura Benny Ramdhani menuding KPU memiliki kepentingan politik dalam menyikapi kasus OSO.
Dugaan Benny dilandaskan atas sikap ketua KPU RI Arief Budiman yang meminta pendapat dan berkonsultasi dengan berbagai pihak dalam menindaklanjuti putusan pengadilan dalam meloloskan nama OSO sebagai caleg DPD.
Padahal, menurut Benny, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan pengurus parpol baru bisa diberlakukan pada pemilu 2024. Karena, putusan MK diterbitkan ketika proses pencalonan telah berjalan. Dengan kata lain, putusan MK tidak berlaku surut.
"Ketika MK keluarkan putudan pengurus parpol tidak boleh (mencalonkan) DPD, tidak ada di negara manapun bisa melaksanakan putudan MK berlaku surut. Putusan MK harus berjalan maju dan berlaku progresif ke depan, karena saat putusan turun, tahapan sudah berjalan jauh," ujar Benny di lokasi.
Massa sempat berusaha masuk ke dalam gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Mereka mencoba menerobos barisan kepolisian yang berjaga di depan pagar gedung tersebut untuk bertemu dengan komisioner KPU.
Namun sayang, seluruh komisioner dan ketua sedang tidak berada di kantor karena memiliki agenda di luar. "Komisioner tidak ada di tempat. Kami berusaha baik menerima dan mencari siapa yg berhak menerima. Kami yg ada nia dan anda dr pencalonan. Beliau akan menyampaikan permasalahan. Kami hanya memfasilitasi," tutur Kepala Bagian Keamanan Kantor KPU Suyadi.
Tak lama berselang, sejumlah perwakilan diizinkan masuk ke dalam gedung untuk menemui pihak KPU dan beraudiensi menyampaikan tuntutannya.
Meski demikian, rasa kecewa mereka masih menjegal lantaran tidak bisa menyampaikan tuntutan dan mendapat jawaban langsung ke komisioner. Oleh karenanya, Beny menyebut pihaknya akan melaporkan komisioner KPU ke Bareskrim Polri terkait hal ini.
"Kami ke Bareskrim hari ini juga," ujar Benny di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (20/12).
Dasar hukum yang akan dibawa Benny atas laporan ke bareskrim adalah karena Komisioner KPU diduga melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 518.
Di dalamnya disebutkan bahwa "Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan/atau KPU Kabupaten/Kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (3) dan/atau pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (3) dan Pasal 261 ayat (3) dan/atau pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)".