Resensi Buku Korporatisasi Petani: Meneropong Masa Depan Petani Indonesia lewat Koperasi Multi Pihak
ERA.id - Kemenkop UKM telah menerbitkan tujuh buku serial seputar pengarusutamaan strategi pengembangan koperasi dan UKM. Salah satu yang paling menarik adalah seri Korporatisasi Petani dan Koperasi Multi Pihak, mengingat Indonesia sejak lama digadang-gadang sebagai negeri agraris, tetapi nasib petaninya justru memprihatinkan dan warganya masih ketergantungan pangan dengan negara asing.
Melalui buku ini, Kemenkop UKM memberi gambaran yang cukup terang mengenai kondisi pertanian dalam negeri dan alasannya butuh reformasi agraria untuk menyelamatkan masa depan petani Indonesia.
Identitas Buku
- Judul buku: Korporatisasi Petani dan Koperasi Multi Pihak
- Penulis: Tim Penyusun Buku Serial Pengarusutamaan Strategi Pengembangan Koperasi dan UKM
- Penerbit: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) Republik Indonesia
- Tahun terbit: 2024
- Cetakan: Pertama
- Jumlah halaman: 162 halaman
- Ukuran buku: 15 x 23 cm
Resensi Buku
Sesuai judul, payung besar yang menaungi gagasan reformasi agraria versi Kemenkop UKM adalah “korporatisasi petani” atau menjadikan usaha pertanian sebagai korporasi. Dalam prakteknya, para petani berlahan kecil yang tadinya bergerak sendiri-sendiri dikumpulkan dalam satu wadah korporasi milik bersama, yaitu koperasi. Dengan demikian, pergerakan mereka jadi lebih pasti, terukur, dan terarah, sehingga hasilnya produktifitas meningkat, begitu pula kesejahteraan para petani yang menjadi anggota koperasi.
Secara garis besar, buku ini dibagi ke dalam dua bahasan utama, yakni korporatisasi petani dan koperasi multi pihak. Pada bagian pertama, buku ini berusaha menjawab pertanyaan mengapa petani harus membangun korporasi dan mengapa yang dibutuhkan mereka adalah koperasi? Pembaca akan disuguhkan secara singkat mengenai apa itu korporatisasi petani, urgensinya, dan peran koperasi dalam kehidupan pertanian.
Selanjutnya, pembahasan menjadi lebih spesifik dengan pemfokusan jenis koperasi berupa koperasi multi pihak (KMP). Pada bagian kedua ini, Kemenkop UKM berusaha meyakinkan para pembaca mengapa yang diperlukan para petani, khususnya yang punya lahan kecil, adalah KMP dan bukan sekadar koperasi konvensional biasa.
Upaya penjabaran itu lalu dibagi ke dalam empat segmen. Pertama, contoh KMP sektor pertanian di negara lain. Kedua, sejarah dan perkembangan KMP di Indonesia. Ketiga, contoh praktik KMP yang sudah berjalan dalam negeri. Keempat, potensi KMP di masa depan.
Apakah penjabaran tersebut berhasil? Sebagai sebuah pengantar, buku ini sudah cukup memperkenalkan ide soal korporatisasi petani dan apa itu koperasi multi pihak. Akhirnya, pembaca mampu menjelaskan definisi keduanya dengan baik setelah pembacaan tekun terhadap buku ini.
Saya, misalnya, jadi bisa menulis bahwa mayoritas petani di Indonesia hanya punya lahan kurang dari dua hektare, dan mereka sering kali kesulitan untuk menemukan pasar. Sehingga ketika panen surplus sekali pun, bisa saja mereka merugi karena harganya anjlok di tangan tengkulak.
Mereka pun kebanyakan hanya mengandalkan kemampuan bertani otodidak secara turun-temurun; tak punya akses terhadap teknologi dan inovasi pertanian; sehingga produktifitasnya kurang. Karena itu, lebih baik para petani kecil ini berkoperasi, sehingga mereka bisa saling membantu dan beban mereka bisa dipikul bersama.
Kemudian, saya juga bisa menjelaskan, peran koperasi dalam hal ini adalah sebagai offtaker, pembeli pertama. Para petani tak perlu takut hasil panen mereka tak ada yang beli, karena koperasi menjamin akan membelinya dan memasarkannya ke masyarakat.
Kedua, koperasi berperan sebagai aggregator atau one stop solution bagi para petani. Koperasi tak hanya menjual hasil panen, tapi juga memberikan pelatihan hingga menyediakan layanan keuangan. Terakhir, koperasi sebagai konsolidator ikut mengelola sumber daya petani, seperti membantu ketersedian pupuk, bibit, dan alat pertanian, hingga ikut mengembangkan infrastruktur pertanian.
Buku ini juga berhasil mengantarkan pengertian KMP sebagai hasil pengembangan dari koperasi satu pihak, yaitu koperasi yang melibatkan bukan hanya petani, tapi semua pihak yang ikut membangun sektor pertanian, seperti distributor, pembeli, dan investor. Melalui KMP, petani diharapkan bisa fokus dalam bertani dan menghasilkan panen paling unggul, tanpa repot-repot memikirkan modal dan jualan.
Sayangnya, sebagai sebuah teks persuasif, buku Korporatisasi Petani dan Koperasi Multi Pihak ini kurang membekas untuk menimbulkan hasrat urgensi reformasi agraria dan meninggalkan status quo.
Saya sebagai pembaca non-petani masih merasa ragu mengapa koperasi dibutuhkan sebagai jalan keluar atas masalah produktifitas dan distribusi hasil panen. Padahal, sebelum ide koperasi di sektor pertanian berkembang, para petani kita sudah lebih dulu mengenal kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan). Alasan yang diberikan buku ini singkat saja, bahwa gapoktan tidak cukup untuk masuk dalam skala ekonomi dan model bisnis, mengutip kata Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki:
“Gapoktan itu bukan organisasi. Tidak bankable. Ini terjadi di Jombang. Mereka memiliki Gapoktan. Nah, Gapoktan ini hanya memiliki 200 hektare, dengan 1 RU rata-rata 9 hektare. Padahal untuk masuk skala ekonomi butuh 1.000 hektare dengan 1 RU sekitar 14 hektare. Jadi kita tidak memenuhi skala ekonomi.”
Jawaban tersebut sayangnya tidak dieksplorasi lebih jauh, semisal dengan menjelaskan bagaimana caranya meningkatkan sejumlah gapoktan yang sudah eksis menjadi bentuk koperasi, lebih jauh lagi menjadi KMP.
Sementara saat membicarakan KMP, buku ini menggelontorkan sejumlah data terkait kegagalan koperasi petani konvensional di sejumlah daerah seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB), tetapi tidak cukup menjelaskan alasan mengapa banyak koperasi petani itu mati suri. Hal ini justru menimbulkan kecemasan baru: kalau di awal para petani kecil diyakinkan untuk berkoperasi, dan dalam praktiknya banyak koperasi petani akhirnya gagal, apa jaminan KMP yang merupakan konsep baru dapat terlaksana dengan baik?
Hal ini pun ditebalkan dengan paragraf pembuka dalam Bab 4 (Praktik Korporatisasi Petani Melalui Koperasi Multi Pihak) sebagai berikut: “Regulasinya baru dua tahun, belum ada contoh sukses kecuali di negara lain, namun koperasi-koperasi ini berani memilih KMP. Mereka adalah para early adopter.”
Selain itu, kelemahan mendasar buku ini bagi saya adalah absennya penjabaran semangat pendirian koperasi sebagai soko guru perekenomian nasional. Memang pengertian koperasi sempat disinggung secara singkat dalam Bab 3 (Koperasi Multi Pihak sebagai Basis Kelembagaan Korporatisasi Petani), tetapi hanya menurut pengertian legal dan tidak menyentuh intisari dari koperasi.
Walhasil, dalam buku ini, kita hanya akan menemukan pengertian koperasi dalam Permenkop dan UKM No. 8 Tahun 2021, yaitu “badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi”.
Padahal, yang menurut saya penting justru prinsip koperasi itu sendiri, seperti kata Bung Hatta bahwa koperasi adalah senjata persekutuan si lemah untuk mempertahankan hidupnya. Tujuannya bukan semata-mata meraup keuntungan, tetapi memenuhi kebutuhan bersama. Artinya, koperasi berdiri bukan untuk memperkaya satu pihak tertentu, tetapi untuk sama-sama menyejahterakan kehidupan para anggotanya. Maka dari itu, sumber dana utama koperasi adalah dari hasil iuran anggota.
Absennya penjabaran prinsip-prinsip koperasi akhirnya membuat buku ini cenderung banyak menampilkan sisi-sisi individualistik ketimbang solidaritas sosial. Misalnya, petani yang bergabung dalam koperasi digambarkan sebagai individu yang semata-mata ingin hidup kaya dan tidak malu bekerja di sawah, seperti sosok petani kentang di Pangalengan, Jawa Barat. Berikut ini saya kutipkan sepenggal paragraf yang menjelaskan sosoknya:
Asep, bukanlah orang Belanda, apalagi keturunan Jerman. Ia hanyalah seorang petani kentang di Pangalengan, Jawa Barat, yang memiliki impian besar, suatu hari nanti bisa memiliki perkebunan teh yang luas di Pangalengan. Mungkin tidak seluas punya Bosscha, namun cukuplah untuk menjamin kehidupan hari tuanya.
Banyak contoh lain dalam buku ini berfokus kepada peningkatan taraf hidup individu. Sehingga saya sebagai pembaca merasa bergabung dengan koperasi semata-mata bakal bikin saya kaya, berduit, dan hidup nyaman sampai tua. Sementara nasib anggota koperasi lain, para petani berlahan kurang dari dua hektare itu, biarlah mereka pikir sendiri-sendiri.
Penutup
“Tidak mungkin menjadi petani yang sejahtera, dan makmur hanya dengan lahan 0,3 hektare yang ditanami macam-macam,” ujar Menteri Teten dalam salah satu paragraf buku ini. Saya setuju. Mertua saya bertani di Bondowoso, Jawa Timur, dan hanya punya lahan tak sampai seperempat hektare. Hidupnya pas-pasan seperti juga keluarga istri saya di Bondowoso lainnya. Kadang mesti berutang sana-sini.
Setelah membaca buku terbitan Kemenkop UKM ini, saya agak menaruh harap kepada korporatisasi petani. Sebagaimana dalam kata pengantarnya, saya percaya “koperasi berpotensi menggerakkan industrialisasi dari bawah” dan “memberikan atensi lebih pada pemberdayaan masyarakat setempat, sehingga dapat menghindari ketimpangan yang mungkin tersisa dari proses industrialisasi”.
Dengan segala kekurangan yang saya paparkan sebelumnya, buku ini masih bisa jadi buku saku bagi mereka yang ingin tahu seputar korporatisasi petani, koperasi pertanian, dan koperasi multi pihak. Pertanyaannya sekarang, kepada siapa sebenarnya buku ini ditujukan?
Kalau sekadar mengambil dari judul, petani adalah sasaran utamanya. Namun, meski buku ini tergolong ringkas dan tipis, tetap saja di dalamnya banyak pemaparan data-data; penggunaan istilah-istilah khusus; dan langkah-langkah teknis yang tak bisa dibaca semua masyarakat awam.
Oleh karena itu, dalam kata pengantarnya, Deputi Bidang Perkoperasian Ahmad Zabadi mengungkapkan semoga buku ini dapat menjadi referensi bagi Pemerintah, Gerakan Koperasi, akademisi, dan stakeholders terkait lainnya. Tentu saja pada akhirnya isi buku ini harus tersampaikan kepada para petani di sawah, tak cukup hanya menjadi bacaan elite-elite di kantor.
Saya habis membaca buku ini sekali duduk dan menuliskan resensi yang sedang Anda baca sekarang. Dengan demikian, saya kira sudah tuntas peran saya sebagai seorang pewarta untuk menyebarluaskan berita ini kepada khalayak. Sekarang, saya tinggal menunggu pemerintah “turun ke sawah” menyampaikan pesan-pesan baik dalam buku ini kepada para petani. Yang saya maksud turun ke sawah tentu bukan secara harfiah, karena saya kira para petani lebih butuh pemerintah berpihak kepada mereka, bukan ikut membajak sawah.