Aktivis Anti Korupsi: Mardani Maming Masih Dianggap Bersalah, Ya, Tidak Masuk Akal!
ERA.id - Pengabulan Peninjauan Kembali (PK) Mardani Maming oleh Mahkamah Agung (MA) masih tidak memuaskan para aktivis anti korupsi dan para pakar hukum, mengingat terdakwa bukanlah seorang koruptor.
Jurnalis senior Bambang Harymurti menyampaikan bahwa eksaminasi hukum yang dilakukan akademisi hukum seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Indonesia, Universtas Padjdjaran, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Diponegoro, sebenarnya sudah sangat jelas memastikan Mardani Maming bukan koruptor.
Ditambah, adanya pernyataan dari Bambang Widjojanto, Deni Indrayana dan Prof Todung Mulya Lubis, yang sangat berintegritas dan tegak lurus melawan koruptor, tambah meyakinkan jurnalis Tempo tersebut akan kesesatan hukum yang menimpa Mardani Maming.
“Dengan dukungan semua orang tersebut, yang berdasarkan kajian dari bidangnya masing-masing, masih dianggap bersalah, ya tidak masuk akal,” ujarnya dalam sebuah acara talshow di televisi swasta, Selasa (5/11/2024).
Guru Besar UII Prof Hanafi yang turut melakukan eksaminasi dalam kasus ini, mengaku banyak sekali kekeliruan dari hakim, melalui hasil eksaminasi dari pakar hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana.
Eksaminasi itu adalah bentuk keprihatinan akademisi atas merosotnya kinerja peradilan Indonesia, yang abai akan penerapan pasal, pengecekan alat bukti dan fakta yang ada.
Prof Hanafi menjelaskan bahwa dari segi hukum administrasi, sejumlah pakar menilai, objek Pasal 93 UU Nomor 4 tahun 2009 tentang yang digunakan hakim, salah sasaran dalam kasus ini.
Di mana dalam pasal subjek hukumnya adalah orang atau korporat yang mengalihkan IUP pada orang lain tanpa memberi tahu pemerintah daerah.
“Sedangkan Mardani Maming, adalah pejabat yang memberi izin. Bahkal izinnya sudah sesuai prosedur kajian dari instansi berwenang,” ujarnya.
Para pakar hukum administrai menilai penggunaan pasal itu tidak tepat sasaran, karena tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan Mardani Maming di sana.
Sedangkan dari segi pakar hukum perdata, aliran uang yang masuk dalam Perusahaan Mardani H Maming menggunakan konsep bisnis to bisnis, murni keperdataan.
Sehingga saat hakim mengaitkannya dengan bentuk ucapan terimakasih tidak ada alat bukti yang cukup.
Sementara dari ahli hukum pidana menilai, penggunaan pasal 12 b, tidak ada kesepakatan antara pihak pemberi dan penerima suap, karena tidak bisa dibuktikan.
Jika hakim mengaitkan hukum administrasi dengan pidana menggunakan pasal 93 tentang minerba, menurut Hanafi itu adalah kekeliruan, karena pasal tersebut bukan pasal pidana.
“jadi kalau Pasal 93 sanksinya hanya administrasi, maksimal pencabutan izin usaha. Bukan pidana. Meski ada unsur pidana dalam uu tersebut,” ujarnya.
Hanya saja unsur pidana dalam UU tersebut tidak bisa ditarik ke ranah korupsi, sehingga sangat jelas kekeliruan dari hakim dalam kasus ini.
Melalui pernyataan Prof Hanafi sudah bisa dipatikan bahwa Mardani Maming bukanlah seorang koruptor, tapi korban dari peradilan sesat di Indonesia.