DPR Segera Kaji Rekayasa Konstitusi Putusan MK Soal Presidential Threshold

ERA.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengkaji putusan Mahkamah Kontitusi (MK) prihal syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Dalam putusannya, MK meminta pembuat undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah, melakukan rekayasa konstitusi.

"Kita akan coba kaji dengan teman-teman di parlemen untuk mengupas dan juga kemudian membahas bagaimana sih itu yang namanya rekayasa kontitusi yang diputuskan oleh MK itu akan dijalankan oleh DPR, supaya tidak menyalahi aturan yang ada," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/1/2025).

Salah satu hal yang akan dikaji yaitu putusan MK agar pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang dimunculkan tidak terlalu banyak, tapi juga jangan sampai terlalu sedikit.

Dia memastikan putusan MK tersebut akan dilakukan setelah DPR menyelesaikan masa reses.

"Kita akan masuk masa reses. Setelah masa sidang, setelah reses tanggal 15 Januari," kata Dasco.

Diketahui, MK memutuskan mengambulkan seluruh gugatan uji materi perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Dian Fitri Sabrina, Muhammad, Muchtadin Alatas dan Muhammad Saad.

Para pemohon menggugat Pasal 222 UU Pemilu terkait syarat ambang batas pencalonan presiden.

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, Kamis (2/1).

Dalam pertimbangannya, MK menilai, munculnya polarisasi di tengah masyarakat akibat kecenderungan hanya ingin memunculkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pilpres.

"Setelah mempelajari secara seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon," ujar hakim MK Saldi Isra.

"Padahal, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung menunjukan, dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan Kebhinekaan Indonesia," lanjutnya.

MK menilai, jika hal ini terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan Pilpres selanjutnya hanya menampilkan pasangan calon tunggal.

Kecenderungan itu, menurut MK, sudah terlihat dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Banyak pasangan calon kepala daerah tunggal melawan kotak kosong.

"Artinya, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden," ucap Saldi.