Pakar Nilai Revisi UU Kejaksaan Terlalu Powerfull, Berpotensi Tabrak Konstitusi

ERA.id - Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan dinilai mengancam demokrasi Indonesia. Sebab banyan pebambahan kewenangan yang berlebihan.

Guru Besar Ilmu HTN UIN Sunan Ampel Surabaya Titik Triwulan Tutik mengatakan, revisi UU Kejaksaan perlu dijaki ulang karen berpotensi menabrak konstitusi.

"Perluasan kewenangan yang ada dalam RUU Kejaksaan terkesan sangat full power. Beberapa kewenangan jaksa bertentangan dengan Konstitusi dan banyak yang perlu untuk dikaji ulang," kata Titik dalam diskusi publik di Jakarta, Jumat (28/2/2025).

Menurutnya, penambahan kewenangan yang begitu besar harusnya diikuti dengan penguatan mekanisme pengawasan. Hal itu belum tersentuh dalam pembahasan revisi UU Kejaksaan.

"RUU Kejaksaan harus mengatur mekanisme pengawasan yang kuat terhadap institusi Kejaksaan melalui Komisi Kejaksaan dan Komisi Etik ASN," kata Titik.

Sementara itu, mantan anggota Komisi Kejaksaan periode 2019-2023 Bhatara Ibnu Reza menyoroti penyusunan RUU Kejaksaan yang sangat tertutup karena dilakukan pada tahun 2021 ketika Pandemi Covid-19 sedang berlangsung.

Kondisi itu menurutnya menjadi celah untuk menyusupkan pelbagai penambahan kewenangan dalam RUU Kejaksaan. Salah satunya yakni kewenangan intelijen Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan.

Selain itu, peran Dominus Litis atau pengendali perkara juga disalahartikan dengan ingin menjadikan Kejaksaan sebagai central authority. Kondisi ini, kata dia, menjadi berbahaya karena tidak akan ada lagi mekanisme check and balances yang efektif serta rentan diselewengkan.

"Sangat rentan dan berpotensi digunakan sewenang-wenang. Termasuk juga akan terjadi tumpang tindih dan perebutan kewenangan dengan lembaga negara lain," kata Bhatara.

Selain berbagai sorotan di atas, Direktur Riset Centra Initiative, Erwin Natosmal mencatat ada 11 pokok permasalahan yang tertuang dalam RUU Kejaksaan. Di antaranya berkaitan dengan pergeseran domain kekuasan Kejaksaan dari eksekutif ke kehakiman serta Hak imunitas Jaksa dan keluarganya.

Kemudian diskresi penggunaan senjata api yang dinilai tidak memiliki urgensi; rangkap jabatan di luar lembaga Kejaksaan; masuknya militer dalam konsepsi penegakan hukum; pemulihan aset tanpa check and balances.

Selanjutnya fungsi intelijen dalam perluasan wewenang Kejaksaan; diskresi perluasan fungsi yudikatif; hingga penambagan kewenangan penyadapan.

"Pelebaran diskresi dengan memunculkan kata 'dapat' dinilai tidak jelas, karena jika terlalu banyak diskresi tanpa kontrol akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang," pungkas Erwin.