Dana Politik Gelap Masih Ada di Pemilu 2019
Pengamat politik UGM Mada Sukmajati memandang, pengelolaan keuangan partai politik dalam pembiayaan dana kampanye tak transparan, karena biasanya cuma ketum dan bendahara yang tahu. Wakil ketua umum pun jarang ada yang tahu soal dana ini.
"Biaya politik yang mahal, dan keinginan kelompok bisnis dalam memberikan dukungan pembiayaan kampanye pada caleg dengan harapan akan mendapat keuntungan, inilah yang menyebabkan maraknya praktik pembiayaan gelap," kata Mada dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019).
Hal yang meyakinkan Mada oleh sumber penerimaan dana kampanye yang tidak jelas adalah adanya informasi dari seorang caleg yang mengakui bahwa besaran dana kampanye yang ia keluarkan dalam pemilu bisa berkali-kali lipat lebih besar dari laporan dana kampanye yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Dana kampanye yang keluar itu bisa sepuluh sampai 15 kali lipat dari laporan pengeluarannya kampanyenya. Salah satu responden pada suatu pemilihan bilang, ia mengeluarkan Rp7 miliar, tapi yang dilaporkan ke KPU Rp900 juta," ujar dia.
Berangkat dari hal itu, Mada menyatakan jangan langsung percaya dengan laporan formal dana kampanye, karena pasti ada laporan informal yang berada di internal partai dan tidak mencerminkan laporan sebenarnya.
"Masih lemahnya regulasi dan sistem laporan dana kampanye yang bisa disiasati oleh peserta pemilu ini, implikasinya tentu adalah korupsi politik," ucap dia.
Bentuk korupsi politik itu, lanjut Mada, diaktori oleh pembuat kebijakan atau pejabat yang dipilih melalui pemilu dengan motif mempertahankan kekuasaan maupun kekayaan.
"Maraknya korupsi politik ini bisa dilihat dari kasus korupsi hambalang, KTP elektronik,korupsi berjamaah DPRD malang, dan beberapa kasus lainnya," jelas dia.