Jalan Panjang Pengesahan RUU Permusikan
Para musisi dan sejumlah pegiat musik di belakang layar lantas membentuk sebuah gerakan bernama Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan atau disingkat KNTLRUUP. Lewat pernyataan tertulis, mereka menolak RUU tersebut.
"Sekali lagi. Menegaskan bahwa menolak draf RUU Permusikan ini justru karena kami peduli dan tidak mau solusi untuk menjamin perkembangan dan kemajuan ekosistem musik di Indonesia prematur dan tidak berdasar pada kajian, diskusi dan partisipasi aktif para pekerja musik di Indonesia," demikian bunyi pernyataan tersebut.
KNTLRUUP juga beranggapan, RUU Permusikan ini menunjukkan kegagalan tim penyusun naskah akademik dan RUU Permusikan dalam merumuskan naskah akademik dan menyusun RUU yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketidakterbukaan atas proses penyusunan RUU-P sebagai informasi publik bertentangan dengan asas keterbukaan Pasal 5 UU No. 12 Th. 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Ini bisa dilihat dari draf RUU yang selesai 15 Agustus 2018 namun baru bisa diakses dan ramai di publik Februari 2019," tambah pernyataan yang bersemayam di website tolakruupermusikan.com itu.
Mereka juga menemukan sejumlah rujukan pada naskah akademik yang bersumber dari blog anak sekolah. Naskah akademik yang secara fundamental tidak memenuhi standar ilmiah sehingga tidak layak digunakan sebagai basis RUU. Kekurangannya yang begitu fatal dan bertentangan dengan asas kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan di Pasal 5 UU No. 12 Th. 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini, menurut para musisi, membuat upaya merevisi adalah sebuah upaya yang sia-sia karena yang dibutuhkan adalah membuat ulang naskah ini agar dapat menjawab kebutuhan, melindungi, serta mendukung ekosistem permusikan di Indonesia.
Untuk itu, KNTLRUUP sekali lagi menegaskan, menolak draf RUU Permusikan merupakan tindakan kepedulian para musisi dan tidak mau solusi untuk menjamin perkembangan dan kemajuan ekosistem musik di Indonesia prematur dan tidak berdasar pada kajian, diskusi dan partisipasi aktif para pekerja musik di Indonesia.
Pasal Apa Saja yang Dikritisi Musisi?
Secara umum, RUU Permusikan ini memuat pasal yang dianggap tumpang tindih dengan beberapa undang undang yang ada seperti: Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, dan Undang-Undang ITE. Lebih parah lagi, RUU ini bertolak belakang dengan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, serta bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dalam negara demokrasi.
Para musisi menemukan setidaknya 19 Pasal yang bermasalah. Mulai dari pasal 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, hingga 51 di mana seluruh pasal ini mengandung unsur ketidakjelasan redaksional atau bunyi pasal sehingga bisa dikategorikan sebagai:
Pertama, pasal karet. Seperti sudah dikritisi sesama pelaku musik lainnya dan media, Pasal 5 memuat kalimat yang penuh dengan multi interpretasi dan bias, seperti “menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi”.
Kedua, memarjinalisasi musisi independen dan berpihak pada industri besar. Pasal yang mensyaratkan sertifikasi pekerja musik berpotensi memarjinalisasikan musisi yang tidak sesuai dengan pasal ini.
Ketiga, memaksakan kehendak dan mendiskriminasi. Bagian uji kompetensi dan sertifikasi dalam RUU Permusikan adalah cerminan pemaksaan kehendak dan berpotensi mendiskriminasi musisi. Di banyak negara, praktek uji kompetensi bagi pelaku musik memang ada, namun tidak ada satupun negara dunia ini yang mewajibkan semua pelaku musik melakukan uji kompetensi.
Keempat, hanya memuat informasi umum dan mengatur hal yang tidak perlu diatur. Beberapa pasal memuat redaksional yang tidak jelas mengenai apa yang diatur dan siapa yang mengatur. Misalnya, Pasal 11 dan 15 hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktekkan oleh para pelaku musik serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya. Kedua pasal ini tidak memiliki bobot nilai yang lebih sebagai sebuah pasal yang tertuang dalam peraturan setingkat undang-undang.
Dasar Dibuatnya RUU Permusikan
Munculnya RUU Permusikan yang mengakibatkan kekisruhan ini ternyata telah melalui proses panjang lebih dulu. Dalam acara bertajuk Bedah Tuntas RUU Permusikan di Toko Musik Bagus, Cilandak Town Square, Senin (4/2) kemarin Anang Hermansyah--salah satu penggagas RUU Permusikan yang juga anggota Komisi X DPR RI menjelaskan kronologi kelahiran RUU Permusikan.
Kata penyanyi, pencipta lagu, produser dan mantan rocker jebolan Gang Potlot, RUU Permusikan bermula dari Kaukus Parlemen Anti Pembajakan yang ia inisiasi bersama politisi lintas fraksi pada Maret 2015, enam bulan pertama saat menjadi anggota DPR. Saat itu kaukus kelilingkan ke berbagai pihak termasuk Presiden, Kapolri, Jaksa Agung termasuk on the spot ke Glodok terkait dengan pemberantasan pembajakan di ranah musik.
Lantaran patroli pemberantasan pembajakan yang dilakukan aparat kepolisian tidak efektif, muncullah ide-ide yang lantas mengarah pada kesimpulan dibutuhkan regulasi berupa RUU Tata Kelola Musik. Namun pada akhirnya tata nama yang dipilih adalah RUU Permusikan.
Juni 2017, komunitas musisi dan pihak terkait yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia (KAMI) datang ke Badan Legislasi (Baleg) DPR mengusulkan pembuatan regulasi di bidang musik. Saat itu, 10 fraksi di DPR bulat mendukung keberadaan RUU Permusikan hingga memunculkan diskusi apakah RUU Permusikan muncul dari Komisi X atau dari Baleg DPR RI.
Akhirnya RUU Permusikan diusulkan oleh Baleg melalui Badan Keahlian Dewan (BKD) yang terdiri atas para ahli dan birokrat DPR BKD meminta pendapat dari berbagai pihak terkait dengan materi yang terkandung dalam RUU tersebut.
RUU Permusikan tertanggal 15 Agustus 2018 yang saat ini beredar dan menimbulkan kekisruhan merupakan usulan inisiatif DPR yang berasal dari BKD DPR RI. Draf RUU ini kemudian diusulkan secara resmi oleh Baleg DPR RI sebagai inisiatif DPR dalam sidang paripurna DPR pada 2 Oktober 2018. DPR bertekad menyelesaikan RUU ini sebelum berakhir masa bakti pada 1 Oktober 2019 sehingga menempatkan RUU Permusikan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini.
Jika diamati, perjalanan RUU Permusikan ini tergolong cepat sehingga memunculkan kekhawatiran dari para pegiat musik akan munculnya sebuah ‘Proyek Sangkuriang’ (proyek yang dibuat dalam satu malam) dari para anggota DPR. Dalam tayangan program talkshow Kompas TV, Ngopi yang disiarkan Selasa (5/2) kemarin, manajer band Seringai Wendi Putranto dan musisi Mondo Gascaro bahkan mengatakan, ucapan Anang yang berbunyi: 'Jika RUU ini disahkan, maka akan menjadi UU Permusikan pertama di dunia' mengundang tanda tanya.
"Kok jadi kayak kejar tayang (sebelum masa bakti berakhir Oktober 2019)," kata Wendi.
UU Permusikan di Negara Lain
Apakah yang dibilang Anang soal UU Permusikan Indonesia bakal jadi yang pertama di dunia jika sudah disahkan, benar? Dilansir dari berbagai sumber. Inggris, Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura ternyata memiliki undang-undang musik. Tapi, cakupan hukum yang mereka atur berada pada ranah teknis. Jika patokannya empat negara ini. Maka, Anang benar. Sekarang, apa saja ranah yang diatur dalam undang-undang musik di negara-negara tersebut?
Di Inggris, sejak 2 Oktober 2012 diberlakukan sebuah regulasi bernama 'Live Music Act' yang memiliki andil besar dalam penghapusan persyaratan Otoritas Lokal mengenai peredaran minuman beralkohol di venue pertunjukan musik. Badan perwakilan para pihak-pihak berkepentingan di industri musik Inggris, UK Music memberi kontribusi besar akan pencapaian ini di mana sejak berdiri pada 2008 lalu mereka telah membuat kemajuan signifikan pada isu-isu hak cipta, perizinan konser, hingga representasi di tingkat legislatif dan pembuat kebijakan.
Kita menengok ke Amerika Serikat. Undang-Undang Modernisasi Musik (Music Modernization Act) lahir pada Oktober lalu setelah memperoleh dukungan bulat dari anggota parlemen Republik maupun Demokrat. Perangkat hukum ini lahir sebagai upaya untuk meminimalisasi kesemrawutan yang terjadi di era streaming, di mana semakin banyak musisi yang merasa kesulitan mendapatkan royalti dari platform semacam Spotify, iTunes, dan lainnya.
Bagaimana dengan Jepang? Aturan hukum soal musik, salah satunya, tergurat dalam Undang-Undang Hak Cipta yang sudah ada sejak 1985. Kehadiran UU ini mendorong tumbuhnya tempat persewaan CD musik secara legal di kota-kota di Jepang, termasuk salah satunya di Shibuya. Itulah mengapa, di Jepang, rilisan fisik masih diminati hingga sekarang.
Kita melangkah ke Singapura. Di negara tetangga kita ini, aturan pemerintah tentang musik masih berkutat pada hal-hal hak cipta, pembajakan, hingga izin bermain di muka umum (konser). Untuk poin terakhir, termaktub dalam Bab 257 Public Entertainment Act (PEA). Jadi, tidak ada aturan soal kreativitas atau bahkan kompeten tidaknya seorang musisi dalam menghasilkan karya dan sejenisnya.
Itulah mengapa, dalam sesi konferensi pers yang digelar KNTLRUUP di SELATAN, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (6/2) kemarin vokalis band rock beroktan tinggi Seringai, Arian13 bilang percuma saja mengajukan revisi beberapa pasal dalam RUU tersebut, jika pondasinya sudah melenceng dan berakibat hampir semua pasal bermasalah.
"Hampir semua pasal yang kami sisir di Daftar Inventarisasi Masalah (lebih dari 80 persen) problematis sehingga harus ditolak. Pasal-pasal di dalam RUU ini berpotensi membatasi ruang gerak dan menyensor kebebasan berekspresi musisi," jelas Arian13.
"Pengusulan revisi akan percuma karena berdasarkan penyisiran pasal yang kami lakukan mencerminkan bahwa jika diubah, maka semua proses harus diulang dari awal, termasuk mengulang dari penyusunan naskah akademik yang menyeluruh, mendalam, serta benar-benar merefleksikan kebutuhan dan daya guna RUU ini," tambah dia.
Arian13 juga menyebut, proses ini akan membutuhkan waktu dan partisipasi banyak pihak, sehingga tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Ada baiknya juga, kata dia, konstituen memprioritaskan RUU yang lebih memiliki urgensi untuk segera dibahas di Prolegnas.