Menghapus Keabu-abuan Isu Pelecehan di Kantor

Jakarta, era.id - Isu pelecehan adalah diskursus tiada henti. Subjektivitas tinggi dalam memandang tindak pelecehan adalah salah satu persoalan. Terlebih di lingkungan pekerjaan, di mana banyak pelecehan yang sejatinya kerap terjadi meski jarang disadari. Sulit memang, mengingat konsep yang mengemuka di tengah khalayak soal pelecehan, bahwa pelecehan adalah sesederhana: lo terima atau enggak?!

Terkait keabu-abuan ini, Never Okay Project bersama Scoop Asia melakukan survei, mencari jawaban yang begitu banyak menjadi pertanyaan: apakah aku dilecehkan? Survei ini memang enggak membahas isu pelecehan secara luas, melainkan hanya pelecehan yang berada di lingkup tempat bekerja. Tapi, seenggaknya, survei ini akan menjawab berbagai hal seperti, apa sebenarnya pelecehan dan tindakan macam apa yang tergolong sebagai pelecehan di tempat kerja.

Menurut survei ini, seenggaknya ada tiga bentuk pelecehan yang paling sering terjadi di tempat kerja. Menjaring 1.240 responden dari 34 provinsi di Tanah Air, Never Okay Project dan Scoop Asia memaparkan, pelecehan yang paling banyak terjadi di lingkungan kerja adalah pelecehan lisan dengan 89,84 persen. Pelecehan lisan adalah ucapan verbal alias komentar soal kehidupan pribadi seseorang. Selain itu, mengomentari bagian tubuh dan penampilan seseorang juga digolongkan sebagai tindak pelecehan.

Kedua, 87,98 responden menyertakan pelecehan fisik sebagai yang paling banyak terjadi di lingkungan kerja. Pelecehan fisik adalah sentuhan yang tak diinginkan dan mengarah ke perbuatan seksual. Misalnya, mencium, menepuk, melirik, mencubit, serta menatap penuh nafsu. Selanjutnya, pelecehan isyarat dengan angka 70,65 persen jadi bentuk pelecehan yang paling sering terjadi di dunia kerja. Tindakan yang terklasifikasi sebagai pelecehan isyarat adalah gerakan tubuh berhasrat seksual seperti kedipan mata berulang, misalnya.

Selain tiga bentuk di atas, pelecehan seksual juga dapat terjadi dalam bentuk tulisan, visual, serta hostile environment (lingkungan kerja yang dirancang tak bersahabat dengan banyaknya gangguan yang muncul) dan quid pro quo, yaitu manipulasi konsentrasi dengan menjanjikan imbalan ataupun memberi ancaman sebagai pendorong tawaran seksual tertentu. Nah, pelecehan tulisan, visual, serta hostile environment dan quid pro quo yang terjadi berulang dapat dikategorikan sebagai pelecehan psikologis.

Isu pelecehan di tempat kerja, sebagaimana kami paparkan di atas adalah isu yang masih banyak menimbulkan kebingungan, meski sejatinya amat penting untuk dipahami. Saking pentingnya, ada sebuah buku berjudul Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Buku yang diterbitkan International Labour Organization (ILO) dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2011 itu mendefinisikan pelecehan seksual di tempat kerja sebagai:

Segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi di mana reaksi seperti itu adalah masuk akal dalam situasi dan kondisi yang ada, dan tindakan tersebut mengganggu kerja, dijadikan perysaratan kerja atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan atau tidak sopan.

Tak hanya dialami perempuan

Ada hal yang juga penting dalam isu pelecehan seksual. Meski selalu dikaitkan dengan isu patriarki, barangkali ini saatnya membangun kesadaran, bahwa pelecehan bukan perkara jenis kelamin. Banyak perempuan jadi korban pelecehan seksual, tapi nyatanya enggak sedikit juga lho laki-laki yang mengalami hal serupa.

Survei yang dilakukan Never Okay Project dan Scoop Asia ini menjelaskan bahwa 40 persen responden laki-laki mengaku pernah mengalami pelecehan secara fisik. Angka tersebut hanya berada tipis di bawah responden perempuan --44 persen-- yang mengaku pernah mengalami pelecehan fisik. Dalam konteks lain, 23 persen responden laki-laki menyatakan enggak pernah jadi korban, sementara hanya empat persen responden perempuan yang menyatakan enggak pernah jadi korban.

Baca Juga : Jojo, Apakah Engkau Dilecehkan?

Ketimbang patriarki, faktor hierarki berbicara lebih banyak dalam kasus pelecehan di lingkungan kerja. Iya, bukan perkara laki-laki dan perempuan, tapi lebih ke perkara siapa bos dan siapa kacung. Survei menyebut, mereka yang tergolong sebagai staf mengalami kerentanan tinggi sebagai korban pelecehan dengan angka hingga 65,56 persen.

Selanjutnya, di tingkatan manajerial, angkanya tercatat berada di angka 12,18 persen. Selanjutnya, mereka pekerja magang memiliki kerentanan yang cukup besar dengan angka 10,10 persen. Selebihnya, survei ini mencatat angka kerentanan pada tingkatan seperti eksekutif (3,23%), sukarelawan (2,34%), mahasiswa (1.94%) serta lainnya (4,76%).

Tag: pelecehan seksual kelas pekerja