Saatnya Berhenti Lihat Pemilu Sebagai Peperangan
Memang, ada sejumlah masalah yang digulirkan sepanjang kontestasi pemilu digelar. Ada politisasi agama, sebaran hoaks, hingga sejumlah hal lain yang berpotensi memecah bangsa. Tapi, untuk menyebut segala kekacauan ini sebagai perang? Rasanya cukup berlebihan.
"Memang ada masalah, tapi jangan memakai bahasa perang. Bahasa perang itu bisa menimbulkan kebencian, bisa menimbulkan ketidakmampuan untuk menerima kalau kalah," kata Romo Magnis dalam diskusi di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Padahal, menurut Romo Magnis, tradisi pemilu di Indonesia adalah pemilu yang damai. Sejak pertama kali dilaksanakan pada 1999, semangat pemilu di Indonesia masih sama: damai.
Lagipula, menempatkan masyarakat beda pilihan politik dalam posisi yang berhadapan jelas bukan pilihan baik. Romo Magnis pribadi percaya, apapun hasil pemilu, masyarakat Indonesia akan menerima, kok. Asyik-asyik aja.
"Maka dari itu, sangat penting bahwa tradisi itu tidak diancam atau dirusak oleh kepentingan-kepentingan politik menjelang Pemilu itu," kata Guru Besar STF Driyarkara itu.
"Yang saya harapkan adalah kuncinya para kontestan alam Pemilu itu kesetiaan untuk melakukan kampanye atas dasar argumentasi politik ekonomi dan sebagainya."
Sependapat, peneliti Netgrit Ferry Kurnia Rizkiyansyah menegaskan bahwa pemilu adalah sebuah wadah kompetisi yang konstitusional untuk mengindahkan suara publik pemilik menjadi kursi dengan cara-cara yang beradab damai dan dilandasi dengan aturan dan etika.
"Ini bukan bukan menjadi bagian dari perang tapi bagaimana ini sebuah kontestasi yang biasa saja yang konsentrasi yang atau kompetisi yang sehat yang harus kita bangun. Pemilu menjadi ruang cerdas untuk menyalurkan preferensi politik kita yang berbeda-beda tanpa adanya intimidasi atau tekanan apapun dan dari siapapun,."