Kesaksian Soal 17.5 Juta Suara yang Tidak Valid

Jakarta, era.id - Majelis hakim konstitusi mulai mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan tim hukum paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Ke-15 saksi dan 2 ahli yang dihadirkan pun telah diambil sumpahnya untuk menyampaikan keterangan sebenar-benarnya dalam persidangan. 

Saksi fakta pertama yang dihadirkan tim Prabowo-Sandiaga Uno adalah Agus Muhammad Maksum, yang mengungkap kesaksiannya terkait temuan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tak wajar berkode khusus yang mencapai 17,5 juta suara dalam Pilpres 2019. 

Agus yang merupakan relawan IT BPN Prabowo-Sandi mengatakan, temuan DPT tak wajar itu meliputi permasalahan Nomor Induk Kependudukan (NIK) palsu, kesamaan Nomor Kartu Keluarga (NKK), kesamaan tanggal lahir, hingga KK yang manipulatif atau nomornya tak valid. 

"Kami sejak Desember itu sudah datang kepada KPU untuk mendiskusikan dan menginformasikan DPT-DPT invalid. Kami diskusikan hingga Maret tidak ada titik temu dan membuat laporan resmi DPT tidak wajar 17,5 juta, tanggal lahir sama, KK manipulatif," ujar Agus saat bersaksi di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (19/6/2019). 

Dijabarkan Agus, soal data hasil temuan DPT tak wajar berkode khusus itu terdiri dari kesamaan tanggal lahir pada 1 Juli sebanyak 9,8 juta, pada tanggal 31 Desember sebanyak 9,8 juta, dan pada 1 Januari sebanyak 2,3 juta yang dirasanya tidak wajar dengan data normal. Apalagi bila merujuk keterangan ahli statistik. 

Selain DPT tak wajar berkode khusus, Agus mengklaim menemukan 117.333 KK manipulatif dan 18,8 juta data invalid di lima provinsi. Menurut Agus, pihaknya telah mengecek langsung data-data itu yang dinilainya invalid.

"Kami menemukan DPT tidak ada KK-nya, KPU mengatakan itu hasil pendataan di lapangan. Kami lakukan pengecekan di lapangan mengecek di Dukcapil ternyata tidak benar, ternyata orang itu punya KK," sambungnya. 

Komisioner KPU Viryan (Anto/era.id)

Menurut Agus, KPU semestinya bisa mengecek data lapangan tersebut. "Namun respons KPU pada waktu itu bertahan bahwa itu data lapangan." 

Menanggapi kesaksian itu, komisioner KPU Viryan bertanya kepada Agus mengenai penggunaan istilah palsu dan manipulatif dalam pernyataannya. Sebagai pihak termohon, pihaknya menyatakan data pemilih yang memiliki tanggal lahir yang sama tersebut adalah benar merupakan data pemilih, bukan merupakan data fiktif atau hasil rekayasa dengan maksud menguntungkan salah satu kelompok pasangan calon. 

Namun demikian, Agus tetap menjawab kalau data yang ditemukannya itu merupakan data fiktif dan telah dimanipulasi. Sebagai perbandingan Agus menggunakan dasar dari nomenklatur soal nomor KTP kode wilayah, diatur dalam Permendagri nomor 137 Tahun 2017. 

"Data itu harusnya diperbaiki karena kalau tidak menjadi rusak. Sehingga kami datang ke KPU dan kami katakan data ini jumlah tidak wajar namun mereka tetap bertahan dengan data yang dimiliki," jawab Agus.

Penjelasan Agus yang kerap menggunakan kata palsu dan manipulatif dipandang hakim terlalu menyimpulkan pandanganya sendiri. Hakim konstitusi Suhartoyo pun meminta agar Agus tak lagi menggunakan pilihan kata itu.

"Jangan menyimpulkan manipulasi atau siluman, pakai diksi yang lebih netral tidak kemudian nuansanya pendapat Anda itu. Anda jangan menggunakan diksi manipulatif atau siluman, ada data yang tidak sesuai antara data sebenarnya dengan data pembandingnya," kata Suhartoyo.

Dalam permohonan gugatan Pilpres 2019, tim hukum Prabowo dalam dalil permohonan menyebut dugaan Daftar Pemilih Tetap tidak masuk akal berjumlah 17,5 juta.

 

Tag: perlawanan terakhir prabowo