'Menyeret' Tanggung Jawab Netflix ke Indonesia
Jakarta, era.id - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera mengawasi konten digital, termasuk Netflix. Menurut KPI, langkah ini bukan hanya untuk mengawasi tayangan, tapi juga untuk 'menyeret' Netflix agar membangun kantornya di Indonesia.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Agung Suprio mengatakan, penting untuk memastikan Netflix memiliki kantor perwakilan di Indonesia, mengingat layanan streaming asal California, Amerika Serikat (AS) itu telah punya banyak pelanggan di Indonesia.
Sebagai gambaran, mengutip data yang dihimpun dailysocial, sepanjang tahun 2018, jumlah pelanggan Netflix secara global bertambah sebanyak 8.8 juta pelanggan, di mana 7,3 juta pelanggan di antaranya berasal dari luar AS, termasuk Indonesia.
Dengan penambahan jumlah itu, Netflix berhasil menghimpun 139 juta pelanggan di 190 negara. Di Indonesia sendiri, Netflix dikabarkan telah menjalin kerja sama dalam bentuk video data plan dengan beberapa operator telekomunikasi, seperti XL, Axiata, Hutchinson 3, hingga Smartfren. Kerja sama dilakukan untuk mengoptimalkan kepuasan pelanggan Netflix di Indonesia.
“Ada dua hal yang akan kita lakukan. Yang pertama, koordinasi dengan Kemenkominfo. Cuma, titik fokusnya bukan kepada konsultasi, tapi lebih agar media baru yang bersiaran punya kantor di Indonesia,” tutur Agung saat dihubungi era.id, Kamis (8/8/2019)
“Wajar dong punya perwakilan, karena konsumen di Indonesia sangat besar loh. Nah kami akan koordinasi dengan Kominfo terkait hal itu.”
Dengan pendirian kantor di Indonesia, pemerintah dan Netflix akan lebih mudah berkoordinasi. Selain itu, pendirian kantor Netflix di Indonesia dinilai sebagai langkah tepat untuk mengontrol kiprah penyiaran Netflix, terutama soal pelanggaran dan sanksi.
“Kalau misanya kami membuat hukum denda kan clear, bahwa ada pejabatnya di sini, di Indonesia. Jadi, Youtube, Netflix punya perwakilan di Indonesia,” kata Agung.
Dipicu aduan masyarakat
Agung mengaku, wacana pengawasan yang dilakukan KPI ini berangkat dari pengaduan masyarakat mengenai konten-konten pada media baru, termasuk Netflix. Masyarakat merasa tidak ada pengawasan dari pemerintah mengenai konten yang bertentangan dengan nilai-nilai bangsa pada media baru.
“Adanya pengaduan dari masyarakat. Nah, memang kalau kita melihat jumlah orang yang menonton media baru, semakin hari semakin banyak. Terutama pada generasi milenial maupun generasi digital. Jadi, generasi digital itu yang lahir pada era baru, era sekarang. Jadi mereka lebih banyak menonton media baru daripada media konvensional,” ucapnya.
Meski begitu, Agung mengakui, bahwa upaya pihaknya untuk melakukan pengawasan kepada media baru khususnya Netflix ini memiliki kelemahan pada regulasi.
“Kami menunggu UU Penyiaran yang baru. Sekarang kan dalam proses revisi dan kami berharap UU-nya segera disahkan. Karena memang kami berinteraksi dengan Komisi I DPR, intinya agar UU penyiaran yang baru segera disahkan,” jelasnya.
Selain itu, Agung mengatakan, pihaknya juga akan memanggil pakar hukum untuk melihat apakah UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002 ini bisa menjangku media baru. Apalagi, katanya, di dalam UU ada berbagai tafsir.
“Di UU Penyiaran memang ada multitafsir. Ada dua tafsir setidaknya begitu. Pertama, mengatakan UU Penyiaran tidak bisa menjangku media baru. Nah ada juga tafsir kedua mengatakan, mampu menjangkau media baru. Media baru yang bersiaran yah, seperti Youtube, Netflix, Facebook Tv, pelayanan over the top lah. Jadi bukan dalam bentuk teks yah, itu beda. Yang bersiaran,” tuturnya.