Ribut Bang Yos-Anies soal Becak
Namun, Anies menepis ketakutan itu dengan alasan perkembangan zaman yang sudah berubah. Perkembangan zaman old, menurut Anies sudah tertutup sejak 2000an. Jadi, di zaman now ini Ibu Kota sudah mengalami banyak transformasi.
"Ketika tadi anda mengutip komentar mantan gubernur soal ini, barangkali banyak yang berasumsi memorinya ke becak tahun 80an, memori becak tahun 70an," kata Anies di Balai Kota, Jumat (19/1/2018).
Menurut Anies, kecil kemungkinan orang pindah dari desa ke kota hanya untuk menarik becak. Pasalnya, becak kini bukanlah transportasi yang terlalu diminati warga, terlebih di tengah perkembangan transportasi online menggurita.
Berbeda di medio 80an, dan 70an saat ojek belum ada. Taksi juga tidak banyak. Jangan melihat becak dengan memori kita zaman dulu, padahal kita hidup di tahun 2018, katanya.
"Demand nya (becak) dimana? Demandnya ya di lingkungan situ saja (perkampungan) jadi kalau anda pasang becak di tempat yang tidak ada demand-nya ya gak ada yang naik," lanjutnya.
Anies bersikukuh, transportasi becak tidak bisa dipisahkan dari Ibu Kota. Meskipun sudah dilarang peredarannya, faktanya masih ada ribuan becak di Jakarta. Salah satu tujuannya, untuk menekan angka polusi kendaraan bermotor di Ibu Kota.
Hal inilah yang nantinya akan diatur oleh Pemprov DKI. Becak nantinya hanya beroperasi di lingkungan perkampungan. "Kenyataan saja kenyataannya, ada lebih dari seribu becak selama ini masih ada di Jakarta. Itu yang akan kita atur," pungkas Anies.
Dianggap tidak manusiawi
Tentunya, ketakutan Bang Yos itu beralasan jika kita menarik romansa masa keemasan becak di medio 80an, hingga tenggelam di medio 90an. Sungguh ironis, prinsip pencarian nafkah si miskin yang datang jauh-jauh dari kampung halaman di berbagai belahan Pulau Jawa ini pernah dianggap tidak manusiawi.
Kerja penarik becak tak ubahnya seekor kuda. Abang tukang becak dipaksa bekerja keras. Menggenjot engkol becak, sementara sang penumpang duduk manis di bangku depan. Bahkan, di jalan menanjak tukang becak terpaksa turun. Becak tak lagi dikayuh, tapi didorong penuh tenaga.
Prinsip kerja becak dianggap mengeksploitasi manusia. Padahal faktanya, becak membuka lapangan pekerjaan. Para tukang becak bekerja atas kemauan mereka sendiri. Tak peduli, meski otot betis kaki mereka semakin mengencang. Mereka juga menutup telinga dari cibiran banyak orang yang mengatakan, tukang becak ciri pekerja keras bagai kuda.
Menurut sejarawan Alwi Shahab, pembatasan dan operasi penertiban becak baru dilakukan pada masa Gubernur Ali Sadikin. Pada awal 1970, jumlah becak di Jakarta sudah mencapai 100 ribu hingga 150 ribu buah. Dengan jumlah penariknya sebanyak 350 ribu orang, atau sekitar 10 persen dari penduduk Jakarta.
Sekalipun menghadapi berbagai kritik, Ali Sadikin sebagai gubernur yang tegas dan berani saat itu mengeluarkan berbagai peraturan yang membatasi operasi becak. Termasuk keharusan memiliki rebewes atau surat izin mengemudi layaknya mobil, maupun motor. Bang Ali yang bertekad ‘menghabisi’ becak di Jakarta juga mempersempit ruang lingkup mereka, seperti pembatasan daerah dan waktu operasi becak hingga 1979.
Tindakan Bang Ali ini kemudian dilanjutkan oleh para penggantinya: Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, dan Sutiyoso. Becak dianggap sebagai gambaran keterbelakangan Indonesia. Kuno dan memalukan. Profesi tukang becak dianggap kelas bawah. Putus sekolah berarti bakal jadi tukang becak.
Waktu itu merupakan pemandangan biasa di Ibu Kota bila aparat menggaruk ratusan becak, dinaikkan ke truk-truk. Kemudian becak-becak itu dibuang ke laut di Muara Karang untuk dijadikan sebagai tempat hidup ikan (rumpon).
Hingga era Gubernur DKI Jakarta berikutnya meneruskan perjuangan Ali. Mereka mengurangi peredaran becak. Seluruh becak harus terdaftar. Satu-persatu, becak mulai dimusnahkan. Di tahun yang sama juga, becak mulai menghadapi pesaing, dengan kehadiran ojek motor, mikrolet, dan metromini.
Pemerintah mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000 becak. Ketika itu, pemerintah memrogramkan para tukang becak beralih profesi menjadi pengemudi angkutan kota.
Masa becak di perkotaan berakhir, saat di keluarkannya Perda No.11 Tahun 1988. Larangan keras pemerintah mendesak becak untuk tidak beroperasi di jalanan kota. Hingga akhirnya di masa itu seluruh becak yang terdaftar dikumpulkan, lantas dibuang ke laut.
Kebanggaan hidup para tukang becak seketika sirna. Handuk kecil yang biasa melingkar di leher, mulai mereka tanggalkan. Tak ada lagi pengelap peluh, seiring becak-becak cantik mereka tenggelam di ujung perairan Jakarta.
Tapi alam tak memusnahkannya begitu saja. Sedikit bagian dari becak yang menyingkir, mencari lokasi baru. Di daerah-daerah pemukiman di luar Jakarta seperti Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bogor becak masih diperlukan. Pangkalan becak masih terlihat di pinggiran jalan. Di depan pintu masuk komplek perumahan, dan pertigaan jalan. Bersandar di keramaian urban, di pasar, di stasiun kereta.
Lalu, bagaimana di era kepemimpinan Anies-Sandi sekarang. Di zaman milenial ini, si tiga roda malah dibolehkan berdecit kembali di jalan-jalan lingkungan, dan perkampungan di Jakarta. Bukan tidak mungkin para penarik becak selanjutnya menggunakan aplikasi Android untuk berebut penumpang dengan ojek online atau pangkalan.
Mungkin saja!