Memfilter Campur Tangan Asing dalam Polemik Papua
Wiranto menyebut pembatasan masuknya WNA ke Papua telah dikoordinasikannya dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi. "Papua dan Papua Barat tidak kita buka seluas-luasnya kepada kedatangan orang asing di sana," ungkap Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (2/9).
Dikatakannya, upaya ini merupakan langkah pemerintah untuk penangkalan dari sesuatu hal yang dikhawatirkan dapat memperburuk situasi di Papua dan Papua Barat. Akan tetapi, dia mengatakan pemerintah akan kembali membuka akses bagi WNA ke Papua dan Papua Barat apabila kondisi kembali kondusif dan aman.
Terkait pembatasan akses WNA ke Papua, Wiranto menyatakan hal itu merupakan hak pemerintah. Menurutnya, pemerintah berhak mengambil kebijakan, salah satunya membatasi akses WNA dalam menangani kondisi di dalam negeri.
"Ada filter-filter yang kita lakukan. Jika keadaan nanti sudah kondusif, sudah aman, silakan (datang). Ini adalah hak negara kita untuk melakukan (pembatasan) itu," tegasnya.
Di sisi lain, Wiranto enggan berspekulasi bahwa ada campur tangan asing dalam kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Apalagi berdekatan dengan peringatan hari jadi Organisasi Papua Merdeka yang jatuh pada Desember mendatang. Wiranto menyatakan pemerintah akan mengedepankan dialog untuk pembangunan Papua dan Papua Barat ke depan.
Di saat yang sama, Wiranto juga mengatakan kalau ada empat orang WNA asal Australia yang dideportasi oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Keempatnya dideportasi lantaran mengikuti unjuk rasa orang asli Papua (OAP) yang bertujuan menuntut kemerdekaan Papua di depan Kantor Wali Kota Sorong.
Identitas keempat WNA itu antara lain seorang pria bernama Baxter Tom (37). Kemudian, tiga orang perempuan bernama Davidson Cheryl Melinda (36), selanjutnya ada Hellyer Danielle Joy (31) dan Cobbold Ruth Irene (25). Mereka berempat menggunakan visa jenis Exemption.
"Proses deportasi keempat WN Australia tersebut dilakukan pada Senin, 2 September 2019 melalui Bandar Udara DEO Kota Sorong dan diterbangkan menggunakan pesawat Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6197 menuju Bali melalui Makassar," kata Kepala Sub Bagian Humas Direktorat Jenderal Imigrasi, Sam Fernando melalui keterangan resminya.
Ada pun alasan deportasi bagi keempat WN Australia itu dikarenakan terpantau mengikuti aksi demonstrasi menuntut Papua Merdeka di Wali Kota Sorong pada 27 Agustus 2019.
Bila merujuk pada undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 mengenai unjuk rasa maupun demonstrasi, dalam Pasal 1 ayat 7 dijelaskan bahwa warga negara yang bisa menyampaikan orasinya, hanyalah warga negara Republik Indonesia.
"Ada pelanggaran disitu, dia ngapain orang asing ikut demo. Masih diselidiki kenapa. Dan dengan dia ikut demo, mengibarkan bendera itu maka pelanggaran hukum (terjadi). Dicek juga di pelanggaran imigrasinya, yang jelas dari imigrasi ada pelanggaran keimigrasian. Maka (keempatnya) dideportasi," kata Kepala Divisi (Kadiv) Hubungan Masyarakat (Humas) Mabes Polri Irjen Mohammad Iqbal.
Mengacu pada aturan itu, maka tak dibenarkan warga negara asing untuk ikut dalam aksi unjuk rasa mau pun demonstrasi di wilayah Indonesia. "UU 9 Tahun 1998 itu menyebutkan WNI (yang boleh demonstrasi)," tegas Iqbal.