Perlukah Amerika Serikat Ikut Campur Urusi Papua?

Jakarta, era.id - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko melakukan pertemuan dengan Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik David R. Stilwell, kemarin, Senin (2/9).

Usai petemuan, Moeldoko mengatakan, Indonesia ingin mendapat dukungan dari Amerika Serikat (AS) untuk menangani gejolak yang terjadi di Papua dan Papua Barat.

Moeldoko mengklaim, AS juga sudah sepakat membantu Indonesia. Ia menyebut, AS sudah mau memberikan dukungan penuh kepada Indonesia dalam mempertahankan Papua.

Namun, hari ini, Menko Polhukam Wiranto membantah pemerintah meminta dukungan Amerika untuk menjaga kedaulatan Indonesia di Papua dan Papua Barat. 

Dia mengatakan, urusan Papua akan ditangani secara internal. Karenanya, dia meminta negara lain untuk menghormati masalah Papua yang merupakan bagian teritorial dari Indonesia.

"Enggak ada minta tolong, minta tolong. Ini kondisi negeri kita sendiri. Antar negeri saling menghormati teritorial negara lain. Tidak dibenarkan satu negara ikut campur negara lain. Indonesia menganut bebas aktif, tapi kita tidak ingin urusan dalam negeri kita dicampuri negara lain. Ini kan urusan kita, urusan rumah tangga kita. Papua, Papua Barat bagian yang sah dari NKRI seperti provinsi lain," kata Wiranto di kantornya, Selasa (3/9/2019).

"Wong misalnya terjadi di Madura misalnya, masa saya minta tolong Prancis. Gimana itu. Terjadi kerusuhan di Banten terus saya minta tolong ke Arab Saudi, tidak bisa. Kita selesaikan sendiri, nah Papua, Papua Barat ini ada permasalahan kita selesaikan sendiri. Jadi tidak benar (minta bantuan AS untuk tangani Papua)," lanjutnya.

Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta menilai, dalam konteks ini, pemerintah bukan minta bantuan secara fisik, tapi politik. Maksudnya, pemerintah menjelaskan duduk perkara yang terjadi di Papua kepada AS. Kata dia, langkah ini dianggap perlu untuk memberikan pemahaman terhadap dunia luar.

“Dalam komunkasi politik terutama negara-negara dunia internasional perlu (dukungan). Karena masalah Papua ini bukan hanya masalah domestik, karena sudah diserap dunia internasional. Jadi memberikan pemahaman kepada Amerika dan negara lain (mengenai keadaan yang sebenarnya) itu perlu,” tutur Riyanti dihubungi era.id.

Dia menilai, masalah Papua ini bukan hanya urusan domestik tetapi sudah melebar hingga dunia internasinal. Apalagi, ada aktor-aktor yang diduga juga terlibat. Salah satunya, Benny Wenda yang memprovokasi situasi ketika di sidang umum PBB.

Karenanya, dia menganggap, Indonesia perlu memberitahukan masalah ini ke AS karena berbagai kepentingan, di antaranya tambang emas PT Freeport Indonesia yang berafiliasi dengan AS. 

"Menyampaikan situasi yang real kepada Amerika itu saya kira tepat. Apalagi Amerika juga mempunyai kepentingan yang besar terhadap Freeport, yang wilayahnya ada di Papua," ujar dia.

Sementara, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, adanya upaya meminta bantuan asing, khususnya AS, adalah kegagalan diplomasi pemerintah. 

"Itu menunjukan kita tidak punya kemampuan, dari diksinya saja itu menunjukan kita tidak mampu atasi persoalan ini. Dan menurut saya itu tindakan sangat tidak tepat, seolah kita tidak mampu menangni persoalan yang ada," ujar Fadli.

Kondisi Kantor Gubernur Papua usai aksi anarkis, Kamis (29/8) lalu. (Paul Tambunan/era.id)

Hingga kini kondisi di Papua dan Papua Barat sudah mulai kondusif. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan polisi telah menetapkan 48 orang sebagai tersangka dalam kasus aksi anarkis yang terjadi di sejumlah wilayah di Papua. 

"Di Papua ada 48 tersangka, rinciannya untuk (kasus kericuhan) Jayapura 28 tersangka, (kasus) Timika 10 orang (tersangka), (kasus) Deiyai 10 orang (tersangka)," kata Dedi. 

Sementara untuk kasus kericuhan di Papua Barat, jumlah tersangka ada 20 orang yakni kasus di Manokwari delapan tersangka, kasus di Sorong tujuh tersangka dan kasus di Fakfak lima tersangka.

Para tersangka tersebut sebagian besar dikenakan Pasal 170 KUHP, Pasal 156 KUHP, Pasal 365 KUHP dan Pasal 1 UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.

Dedi menuturkan, mereka saat ini masih dalam proses pemeriksaan di polda dan polres terkait.

Sebelumnya, terjadi aksi demonstrasi berujung ricuh di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat dalam beberapa pekan terakhir. Mereka memprotes terjadinya kasus bernuansa rasisme yang menimpa para mahasiswa asal Papua di Surabaya, Jawa Timur pada Sabtu 17 Agustus 2019.

Untuk memastikan keamanan di Papua, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto bertolak ke Papua, sejak Senin (2/9). Rencananya Kapolri, Panglima TNI dan para pejabat utama TNI-Polri akan berada di Papua selama empat hingga 10 hari hingga kondisi keamanan di Papua, stabil.

Tag: kkb papua memukau amerika serikat bank indonesia