Menilik Lagi Sistem Kebut Revisi UU KPK

Jakarta, era.id - DPR telah resmi mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi UU. Persetujuan itu diambil secara kuorum dalam Rapat Paripurna kesembilan tahun sidang 2019-2020 DPR yang digelar kemarin siang.

Sejak 3 September, RUU ini hangat diperbincangkan setelah usulan Revisi UU KPK jadi inisiatif DPR dan disetujui karena usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Sepekan kemudian, Presiden Joko Widodo menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada tanggal 11 September 2019. Sebenarnya, Jokowi punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkan poin-poin revisi UU ini.

Sehari setelah Surpres turun, Baleg DPR langsung menggelar rapat dengan Menkumham Yasonna H. Laoly, pada 12 September malam hari. Esoknya, pada 13 September, DPR bersama dengan pemerintah melakukan rapat bersama namun tertutup.

Tiga hari berselang, pada 16 September malam, DPR dan pemerintah tiba-tiba sepakat dengan RUU KPK ini. RUU tersebut pun disahkan jadi UU oleh DPR pada Rabu (17/9).

Revisi UU KPK dikebut oleh DPR dalam waktu beberapa minggu saja, yang setengah bulan lagi diganti oleh periode baru dengan masa jabatan 2019-2024.

Tapi, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menegaskan UU KPK ini cepat selesai karena sudah dibahas sejak lama dan penyelesaiannya tidak buru-buru.

"Sebenarnya tidak terburu-buru. Karena kan proses, kita kan sudah ikuti semua apa yang menjadi perdebatan di publik ya. Yang kedua, ini kan soal perbedaan cara pandang kita. Bahwa pembahasan RUU KPK ini itu sudah berlangsung lama juga di Badan Legislasi. Bahwa dulu pernah ditunda karena momentumnya yang belum begitu bagus akhirnya ditunda," kata Supratman, Selasa (17/9).

Gedung DPR (era.id)

Memang benar jika RUU KPK masuk di long list Program Legislasi Nasional 2015-2019. Tapi menariknya, RUU ini sempat dihapus dalam Prolegnas Prioritas 2019, meski tidak hilang dari polegnas jangka menengah 2015-2019.

Kemudian, ketika melihat dokumen evaluasi penanganan RUU Prolegnas Prioritas pada 1 Agustus 2019, RUU ini tidak ada. Begitu juga dalam keputusan rapat pimpinan Baleg per 19 Agustus 2019, RUU ini juga tidak ada. Namun pada 5 September, RUU tersebut telah disetujui menjadi usul inisiatif DPR.

Proses pembahasan RUU ini dianggap menyimpang oleh beberapa elemen menyimpang. Bahkan, isi draf yang beredar disimpulkan dapat melemahkan KPK. 

Hingga akhirnya, beberapa hari sebelum UU ini disahkan atau pada 13 September, tiga pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang sepakat menyerahkan mandat tugas KPK kepada Presiden Joko Widodo. 

Penyerahan mandat ini sejalan dengan terpilihnya Firli Bahuri sebagai pilihan DPR. Firli dipilih jadi ketua KPK setelah menjalani fit and proper test pada Kamis 12 September.

"Kami pimpinan dengan berat hati, hari ini, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Bapak Presiden," kata Agus, Jumat (13/9).

Agus juga menjelaskan kegelisahan para pegawai KPK akan draft revisi UU KPK yang telah disetujuinya. Demikian juga harapannya agar ada langkah-langkah untuk penyelamatan dari Jokowi.  

"Sampai hari ini, kami draft (Revisi UU KPK) sebetulnya saja tidak mengetahui. Rasanya seperti sembunyi-sembunyi. Bahkan saya mendengar rumor, dalam waktu yang sangat dekat rasanya akan disetujui," ujar Agus.

Gedung KPK (Wardhany/era.id)

Kemarin, Komisioner KPK Laode M. Syarif bilang, meskipun KPK tak dilibatkan dalam proses revisi UU KPK, mereka meneliti bahwa sejumlah poin revisi itu berpotensi besar untuk mengganggu independensi KPK dalam mengusut suatu kasus dan akan memperlemah penindakan KPK.

"Jika dokumen yang kami terima via hamba Allah (karena KPK tidak diikutkan dalam pembahasan dan belum dikirimi secara resmi oleh DPR/Pemerintah), banyak sekali norma-norma pasal yang melemahkan penindakan di KPK," kata Laode.

Ada tujuh poin yang dianggap oleh KPK dan sejumlah LSM mengandung permasalahan dan berpotensi melemahkan KPK.

Pertama, terkait kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen.

Kedua, pembentukan Dewan Pengawas. Nantinya, Dewan Pengawas bakal berisi 5 orang yang dipilih oleh presiden. Dewan Pengawas ini bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK hingga memberi izin atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan.

Ketiga, terkait pelaksanaan fungsi penyadapan. Persoalan penyadapan diatur dengan ketat dalam draf revisi UU KPK. Dalam revisi aturan itu, KPK harus meminta izin ke Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan.

Keempat, mengenai mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara tindak pidana korupsi oleh KPK.

Kelima, terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.

Keenam, mengenai mekanisme penggeledahan dan penyitaan; serta poin ketujuh, terkait sistem kepegawaian KPK.

Tag: ruu tipikor ketua dpr kpk