Desakan agar Jokowi Keluarkan Perppu Batalkan UU KPK
Sejumlah elemen masyarakat melakukan aksi unjuk rasa di berbagai daerah hari ini. Salah satu agendanya adalah menolak UU KPK yang baru kelar direvisi.
Di antara massa aksinya berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Mereka akan beraksi di depan DPR. Narahubung aksi ini, Milzam, aksi tersebut didasari karena pasal-pasal di UU KPK yang baru mengarah pada pelemaha kewenangan KPK dalam memberantasan korupsi.
"Salah satu tuntutan kami adalah mendesak Presiden Jokowi untuk keluarkan Perppu batalkan UU KPK (hasil revisi)," ucapnya dihubungi era.id, di Jakarta, Senin (23/9/2019).
Aksi seperti ini bukan baru pertama digelar sejak UU KPK disahkan pada 18 September, tapi sudah yang ke beberapa kalinya. Gelombang penolakan UU tersebut juga tak hanya terjadi di Jakarta, tapi di beberapa kota di negara ini.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal menilai, dengan masifnya penolakan dari masyarakat, sudah cukup jadi alasan bagi Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Perppu KPK. Apalagi, tambah dia, hampir setiap hari, penolakan UU KPK ini disuarakan di daerah-daerah.
Selain itu, Agil menyebut, MK pernah mengeluarkan putusan yang mengatur syarat keluarnya Perppu, salah satunya ialah apabila terjadi suatu keadaan yang membutuhkan pembentukan UU secara cepat. Berdasarkan syarat itu, menurut Agil, Perppu ini sudah tepat dikeluarkan karena masifnya penolakan masyarakat.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyesalkan sikap Jokowi yang tidak menunjukkan keberpihakannya pada penguatan KPK dan pemberantasan korupsi.
ICW juga menyinggung soal janji yang pernah diungkapkan Jokowi untuk memperkuat KPK. Dia mengingatkan, sikap Jokowi ini akan berimplikasi serius terhadap kepercayaan publik.
Presiden Jokowi dinilai tak memperkuat KPK karena langkahnya dalam menyikapi proses pembuatan revisi ini. Sejak awal, pembahasan revisi ini dianggap cacat secara prosedural dan mendapatkan penolakan dari akademisi, publik dan KPK, namun sepuluh partai politik sepakat untuk menyelesaikannya sebelum masa tugas DPR periode 2014-2019 berakhir.
Presiden Jokowi mengeluarkan surat presiden dan mengirimkan wakil pemerintah untuk ikut pembahasan bersama DPR. Hal ini menjadikan proses pembahasan revisi UU KPK berlangsung cepat, tertutup dan tidak melibatkan publik maupun KPK sebagai pihak yang berkepentingan.
Pemerintah dan DPR berulang kali menyatakan semangat revisi UU adalah memperkuat KPK, tapi sejumlah kalangan menilai aturan ini justru memperlemah posisi KPK.
Pelemahan terlihat dari ketentuan yang mengatur penyadapan, penyitaan dan penggeledahan oleh KPK hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas. Independensi KPK juga terancam karena keberadaan Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih oleh Presiden, kedudukan KPK menjadi lembaga pemerintah pusat dan status pegawai KPK yang beralih menjadi aparatur sipil negara.