Mengukur Efektivitas Buzzer Menggiring Opini Publik
Studi Universitas Oxford berjudul The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation mengungkap bagaimana pasukan siber atau buzzer menggunakan media sosial, untuk menyebarkan disinformasi yang bisa memanipulasi opini publik.
Riset ini adalah proyek Computational Propaganda Research Project, yang dilakukan dua peneliti Universitas Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard. Laporan Oxford menyoroti upaya lembaga pemerintah dan partai politik yang menggunakan media sosial untuk menyebar propaganda politik, disinformasi, dan menekan kebebasan berbicara.
"Selama tiga tahun terakhir, kami telah memantau media sosial dunia yang digunakan oleh partai atau pemerintah," tulis laporan tersebut.
Ada lima platform utama media sosial yang digunakan, yakni Facebook, Twitter, WhatsApp, YouTube, dan Instagram. Penelitian tersebut menganalisa penggunaan media sosial untuk tujuan propaganda di 70 negara. Dari lima media sosial, hanya YouTube yang masih jarang digunakan sebagai media propaganda.
Dari kajian Oxford, 87 persen negara menggunakan akun asli manusia, 80 persen akun bot (akun yang otomatis dirancang untuk meniru perilaku manusia secara online), 11 persen akun cyborg (perpaduan akun bot dan akun asli), dan 7 persen menggunakan akun yang diretas (akun palsu).
Sedangkan di Indonesia, menurut penelitian itu hanya menggunakan akun asli dan bot dengan tujuan menyebarkan propaganda politik, menyerang kampanye, mengalihkan isu penting, polarisasi, dan menekan pihak yang berseberangan.
Jika dilihat dari kemampuannya, para pasukan siber Indonesia hanya menggunakan tim kapasitas rendah (Low Cyber Troop Capacity) dari lima jenis kapasitas pasukan siber yang dikelompokkan penelitian ini yaitu tim berkapasitas minimal, rendah, medium, dan tinggi. Tim kecil tersebut hanya dilibatkan dalam masa tertentu seperti kampanye atau menjelang pemilu dengan bayaran 1 hingga 50 juta rupiah.
Selain Indonesia, ada negara lain yang menggunakan pasukan siber dengan kapasitas rendah, di antaranya Austria, Kolombia, Ceko, Jerman, Italia, Spanyol, Korea Utara dan lainnya.
Pegiat Media Sosial, Denny Siregar mengungkapkan jika buzzer di Indonesia memang ada meski hanya bebentuk akun robot atau bot.
"Buzzer itu corong saja, biasanya malah berbentuk akun robot, follower-nya sedikit dan tidak punya narasi dalam penulisan," katanya saat dihubungi era.id, Jumat (4/10/2019).
Denny yang kerap membuat konten kontroversial ini menganggap ia bukan buzzer karena kontennya mempengaruhi pembaca sehingga lebih tepat disebut influencer. "Biasanya yang menuduh itu buzzer, jadi mereka menganggap lawan mereka juga buzzer," selorohnya.
Soal isu adanya buzzer bayaran pemerintah, Denny mengaku tak pernah mendengar kabar tersebut, namun pernah mendengar ada tim media sosial salah satu paslon saat kampanye pilpres lalu. "Yang saya pernah dengar malah tim medsos TKN waktu pilpres," katanya.
Pria yang trending karena dicari anak STM ini juga berpendapat keberadaan buzzer tak bisa dipungkiri dari dunia politik di era media sosial saat ini. Namun menurutnya bukan pemerintah yang menggunakan jasa mereka. "Saya rasa setiap parpol pasti pasti ada. Tapi untuk pemerintah, terutama Jokowi, selama ini yang saya lihat hanya relawan-relawan," ucapnya.
Analis media sosial dari Drone Emprit, Ismail Fahmi menilai jika penggunaan buzzer sangat efektif untuk menyerang lawan politik dan mengalihkan opini publik dari substansi sebuah peristiwa.
"Banyak hal yang dilakukan untuk destruksi ya dan itu cukup efektif. Mengalihkan perhatian, efektif itu ketika ada sesuatu yang sangat penting, kemudian dia mengangkat isu yang lain sehingga publik itu tak sempat lagi bahas yang penting, fokus disitu," ujarnya.
Pakar analisis media dari Universitas Islam Indonesia (UII) ini juga mengatakan, jika penggunaan buzzer efektif untuk meredam opini yang negatif terhadap suatu isu, meski juga bisa dipakai untuk hal yang positif. "Kadang juga ada yang efektif menyampaikan program pemerintah misalnya pembangunan jalan tol, jadi publik tahu. Tergantung mau dipakai untuk apa," ucapnya.