Melegitimasi Keistimewaan Yogyakarta: Budaya Sampai Tata Kota
Jakarta, era.id - Hari ini, warganet merayakan hari jadi Kota Yogyakarta. Tagar #HUT263Jogja melambung menandai hari ini sebagai hari jadi Kota Pelajar yang ke 263.
Ramainya hari jadi Yogyakarta di media sosial tak lepas dari keistimewaan kota Yogyakarta. Saking istimewanya salah satu kota yang paling banyak dijadikan destinasi pariwisata oleh banyak orang itu sering dianggap sebagai kota yang ngangenin.
Salah seorang yang merasa bahwa Yogyakarta kota istimewa adalah seorang karyawan di instansi pemerintahan Fakhri Maulana Ibrahim. Fakhri adalah orang asal Bogor yang melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Menurutnya, salah satu faktor yang membuat Yogyakarta begitu istimewa adalah penduduknya. Menurutnya, orang Yogyakarta masih mempertahankan budaya unggah-ungguh atau saling menghormati, selalu memerhatikan keadaan, dan bisa berhati-hati dalam membawa diri, walaupun banyak pendatang masuk.
"Kalau melihat dari teman-teman saya yang bertemu di Yogyakarta mereka budaya malunya tinggi, walaupun ada aja pasti yang nyeleweng mah," kata Fakhri kepada era.id, Senin (7/10/2019).
Selain itu, Fakhri menyebut Yogyakarta adalah paket lengkap. Misalnya, di sana juga pas untuk dijadikan tempat mendidik diri sekaligus memperkaya diri dengan banyaknya unsur-unsur kebudayaan yang mewarnai kehidupan di Yogyakarta.
"Pokoknya di sana mah ada semua deh. Kesenian jalan, modern jalan, event banyak. (Soal) alam jangan ditanya. Gunung di utara, pantai di selatan, kota di tengah tengah. Semangat mahasiswa ada. Serba ada," ujarnya.
Pengalaman lain diutarakan Noor Pratiwi, seorang pekerja media. Menurutnya, apa yang membuat Yogyakarta istimewa adalah karena kota tersebut bisa membuat orang yang mengunjunginya merasa diistimewakan.
"Yogyakarta justru selalu bikin pengunjungnya merasa istimewa dengan banyak caranya, entah dari orang-orangnya, makanan, ataupun tempatnya," katanya lewat sambungan telepon.
Selain itu Noor yang sehari-hari bekerja di Jakarta juga mengaku bahwa ia tak jarang merasa kangen dengan kota yang terkenal dengan jalan Malioboronya itu. "Sekangen itu sama Jogja. Mungkin, mungkin ya suasana, orang-orang di sana, keakraban," kata Noor.
Dari budaya jadi tata ruang
Achmad Djunaedi dan Sudaryono dalam penelitian berjudul "Aspek Budaya dalam Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta" yang diterbitkan Journal of Regional and City Planning Institut Teknologi Bandung (2015) menjelaskan bahwa kota sebagai produk budaya merupakan fakta.
"Bangunan, jalan, tugu, lapangan dan wujud fisik komponen kota lain yang menjadi ikon kota menjadi penanda dari kebudayaan dan peradaban kota yang bersangkutan. Oleh karena itu hampir semua kota mempunyai penanda tersebut," tulisnya.
Namun tidak semua penanda itu dapat disebut sebagai sesuatu yang istimewa jika tak ada penjelasan tentang “keistimewaannya”. Salah satu faktor yang membuat sebuah kota punya ciri khas atau keistimewaan yang membedakan dari kota lain adalah budaya dan tata ruang. Hal itu merujuk pada Undang Undang Nomor 13 tahun 2012.
Namun, masalahnya beleid tersebut terlalu samar untuk menentukan kriteria sehingga perlu ada penjelasan tentang keistimewaan itu. Misalnya, budaya apa yang bisa menjadi ciri atau tata ruang apa yang bisa membangkitkan keistimewaan dari Yogyakarta.
Pasalnya, jika yang istimewa itu budaya Jawa, maka Yogyakarta hanya salah satu dari pusat budaya Jawa. Demikian pula soal tata ruang. Banyak kota-kota yang tata ruangnya menyerupai Yogyakarta. Sehingga diperlukan kriteria yang lebih spesifik yang dapat mendefinisikan keistimewaan dari Yogyakarta.
Melihat penjelasan Djunaedi dkk (2015), bisa dikatakan ornamen atau bangunan berbentuk fisik adalah wujud dari sebuah peradaban atau kebudayaan masyarakat. Karena itu, keistimewaan dari Yogyakarta secara nyata dapat dilihat dari berbagai ornamen tata ruang kota yang ada.
Seperti diketahui, Kota Yogyakarta dibangun oleh Hamengkubuwono I (HB I) pada tahun 1755. Letaknya membentang di antara
110(derajat)24’19” sampai 110(derajat)28’53” BT dan 07(derajat) 15’24” sampai 07(derajat) 49’26” LS.
Lokasi tersebut berada di antara Gunung Merapi dan Lautan Hindia dan diapit enam sungai ( Sungai Progo, Bedog, Winongo di barat dan Code, Gajah Wong dan Opak di timur). Menurut ahli penghitungan (petung/primbon) Jawa, lokasi tersebut dinilai sebagai lokasi yang istimewa karena memenuhi syarat-syarat sebagai kedudukan ibu kota kerajaan.
Bagaimana Sultan membangun Yogyakarta
HB I membangun Yogyakarta berdasar konsep-konsep sosial, kenegaraan dan fungsional. Konsep-konsep yang diwujudkan dalam struktur, pola ruang dan citra kota antara lain:
Pertama, konsep Catur Sagotra. Konsep itu merupakan kosmologi Jawa, yakni pemikiran tentang teranyamnya empat komponen kehidupan dalam satu ruang. Konsep itu merupakan gambaran dari kondisi harmonis alam semesta. Keempat gotro atau sagotra tersebut terletak pada posisi arah jarum jam: Kraton, Masjid Gede, pasar, dan alun-alun.
Keempat komponen tadi mewakili fungsi-fungsi penting dalam kehidupan kota, yakni pemerintahan atau pemimpin (Kraton), religi, etika dan moral (masjid), ekonomi (pasar) dan budaya (alun-alun).
Kemudian konsep yang kedua adalah konsep Golong Gilig. Secara harfiah konsep ini berarti sesuatu yang utuh, menyiratkan semangat dan niat yang satu atau menyatukan semua golongan. Konsep tersebut diwujudkan dalam bentuk tugu (obelisk). Golong gilig diletakkan pada garis lurus imajiner dari Kraton ke puncak Merapi yang berjarak 2,5 kilometer dari Kraton.
Terakhir, kebudayaan yang mewujud jadi tata ruang tertuang dalam konsep pengendalian Pemerintahan dan Pertahanan Kota. Dalam hal ini, Pangeran Mangkubumi (Kepala Pemerintahan) merasa perlu untuk menggaet loyalitas dari sumber kekuatan utama daerah Yogyakarta, yakni sentono dalem dan ulama dengan santrinya.
Karena itu, sangat penting untuk mengakomodasi kepentingan atau kebutuhan para sentono dan ulama sebagai strategi pengendalian. Strategi tersebut diwujudkan dalam bentuk alokasi atau distribusi fungsi ruang dalam wilayah kesultanan.
Di samping itu, HB I juga menciptakan konsep masjid Pathok Negoro. Konsep tersebut adalah strategi untuk memperoleh dukungan dari ulama dan santrinya.