Pasang Surut Wacana Menghidupkan Kembali GBHN

Jakarta, era.id - Rencana untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi perbincangan publik. Berawal dari PDI Perjuangan (PDIP) yang ingin menghadirkan kembali GBHN agar pembangunan Indonesia berkelanjutan dan berkesinambungan.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Pancasila Muhammad Rullyandi mengatakan, tidak ada urgensi dari dihidupkannya kembali GBHN. Sebab, kata dia, Indonesia sudah memiliki sistem pembangunan yang tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional, maupun Rancangan Pembangunan Jangka Menengah yang dibuat oleh Bappenas.

"Tapi menurut saya juga jadi tumpang tindih dengan kerja Bappenas gitu. Sebetulnya peran GBHN sudah diambil alih oleh Bappenas, jadi nambah-nambah kerjaan MPR. Karena sebetulnya sudah ada," ucap Rully, ketika dihubungi era.id, di Jakarta, Rabu (9/10/2019).

Apalagi, kata Rully, Bappenas dalam menyusun RPJP juga sudah berdasarkan kajian-kajian. Karena itu, dirinya meyakini, presiden akan lebih mempertimbangkan hasil kerja Bappenas. Sebab, rancangan itu sudah disesuaikan dengan kepentingan pemerintahan.

"Bappenas ini adanya di bawah tanggung jawab presiden. Jelas presiden akan lebih memperhatikan Bappenas. Karena Bappenas sudah bekerja sesuai penelitian, pengkajian, kemudian melihat progres pekerjaan pemerintahan dari yang dulunya, dan sedang berjalan. Saya kira itu akan menjadi bahan pertimbangan yang lebih diutamakan," ucapnya.

Rully berujar, jika berkaca pada GBHN sebelum undang-undang dasar (UUD) 1945 mengalamai amandemen, sebagai pemegang kekuasan tertinggi di mana presiden harus tunduk pada GBHN yang diamanatkan MPR, memang ada konsekuensi hukum jika presiden tidak menjalankannya.

"Sekarang kalau presiden nanti dengan adanya GBHN dia katakanlah tidak sejalan dengan GBHN, apa konsekuensinya? Karena di UUD 1945 tidak ada konsekuensinya," ucapnya.

Jika memang GBHN tetap ingin dihidupkan kembali, kata Rully, MPR, presiden dan atau lembaga-lembaga lainnya harus berkoordinasi. Sebab, jangan sampai antara GBHN dan RPJP bersebrangan. Koordinasi ini perlukan sekali untuk suatu penyelarasan, supaya sejalan.

"Jangan sampai Bappenas maunya 'A', MPR maunya 'B' jadi tidak sejalan. Nah kalau sudah tidak sejalan rakyat bertanya-tanya apa itu implikasinya. GBHN harus menyesuaikan juga RPJP dan RPJM, kemudian harus ada koordinasi lintas sektoral," jelasnya.

Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengaku, tak setuju dengan wacana menghidupkan kembali GBHN. Selain tumpang tindih, tidak ada alasan yang mendesak untuk mengembalikan GHBN. Apalagi, tidak ada manfaatnya bagi rakyat.

"Enggak. Kalau saya dari awal sudah tidak setuju. Jadi tidak perlu ada yang diselaraskan. Tidak perlu lagi ada GBHN. Jadi saya tidak setuju memang gagasan amandemen. Karena amandemen itu bukan dari rakyat, itu maunya elite politik," ucap Bivitri.

Bivitri berujar, karena sistem politik Indonesia saat amandemen 99 tahun 2002 sudah berubah total. Maka, GBHN ini sudah tidak relevan, sebab presiden sudah bukan dipilih oleh MPR. Melainkan dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat.

"Makanya pembangunan itu dilihat dari satu hal yang teknokratik maka kemudian dibentuklah UU tentang sistem pembangunan nasional. Itu yang kemudian melahirkan RPJM, bahkan ada rencana jangka panjanganya juga sudah ada, 25 tahun gitu. Buat saya sih gunakan saja sistem pembangunan nasional itu, dijalankan saja RPJP dan RPJM itu," jelasnya.

Menurut Bivitri, saat pemerintahan Soeharto GBHN memang sudah ada. Namun, faktor yang membuat Indonesia stabil bukan GBHN-nya tapi presiden saat itu yakni Soehartonya.

"Karena dia dulu otoriter. Dia buat orang harus maunya dia, pembangunanya harus seperti ini, yang tidak setuju pembangunan bisa dihilangkan, bukan GBHNnya," tuturnya.

Senada, Partai Demokrat juga menilai amandemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengadakan kembali Garis Besar Haluan Negara tidak tepat. Menurut mereka aturan menenai pembangunan jangka panjang dan menengah serupa GBHN telah tertuang dalam undang-undang.

"Di era reformasi, negara kita juga punya GBHN dengan nama yang berbeda. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Menengah dan Pendek. Ada UUnya. Sangat lengkap," Ketua Fraksi Demokrat di MPR Benny K Harman, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/10).

Untuk itu, lanjut Benny, apabila undang-undang terkat RPJM san RPJP dirasa belum lengkap dan dipandan out of date atau tidak responsif lagi dengan kondisi saat ini, maka yang perlu diamandemen ialah undang-undang tersebut.

Bahkan bila perlu, undang-undang tersebut diubah nomenklaturnya. Sehingga, kata Benny, MPR tak harus sampai menyentuh UUD 1945 yang direncana akan diamandemen.

"Kalau mau nomenklaturnya diganti, silakan diubah saja nama UU-nya menjadi UU Tentang GBHN. Tentu ikuti prosedur legislasi yang diatur dalam UU tentang Pembentukan Perundang-undangan. Tidak perlu mengubah UUD Negara RI 1945 jika maksudnya hanya untuk hidupkan GBHN, jika hanya mau mengganti nama, cukup UU saja," jelas Benny.

Partai Demokrat berpandangan bahwa belum ada alasan mendasar untuk mengamandemen UUD 1945. Benny menilai masalah kenegaraan yang muncul selama ini lebih karena implementasi yang lemah dan manajemen pemerintahan yang butuh penyesuaian.

"Negara kita lemah selalu dalam melaksanakan konstitusi. Berbagai masalah kenegaraan yang muncul selama ini menurut kami tidak bersumber pada konstitusi, bukan karena substansi konstitusi yang tidak lengkap, tapi karena pelaksanaannya yang so weak," jelasnya.

Benny mengingatkan, para pimpinan MPR untuk bisa lebih fokus terhadap isu-isu dan permasalahan terkini ketimbang terus mengurus ihwal amandemen UUD 1945 yang tidak tepat pada waktunya.

"Kekuatan politik dan golongan di MPR sebaiknya saat ini fokus membantu pemerintah menyelesaikan kasus Papua, merespon tuntutan publik terkait Perpu KPK agar negeri aman dan tentram," ujarnya

Tag: ketua dpr mpr