Waspada 'Kecolongan' Amendemen UUD 1945
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, amendemen UUD 1945 ini merupakan rekomendasi MPR periode 2014-2019. Dalam rekomendasi itu tidak terdapat usulan tentang pemilihan presiden dilakukan MPR, serta perpanjangan masa jabatan presiden jadi 8 tahun. Karenanya, dua poin terakhir tak bisa dibahas oleh Badan Pengkajian MPR.
"UUD bisa diamendemen kalau ada usulan dari sepertiga anggota MPR minimal," kata dia Rabu (9/10).
Meski begitu, Hidayat menambahkan, kalau ada usulan amendemen lainnya, perlu disampaikan secara tertulis mengenai pasal yang akan diamendemen, alasan dan redaksional barunya.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menerangkan, penghidupan GBHN melalui amendemen UUD 1945 dapat dimanfaatkan pihak tertentu yang ingin mengembalikan kekuasaan, dalam hal ini pemilihan presiden, yang sudah ada ditangan rakyat kembali ke MPR.
"Iya makanya jadi kalau saya melihatnya GBHN hanya batu loncatan. Mereka sebenarnya mau membuka kotak pandora ini, mau ngembalikan Indonesia ke zaman dulu sebelum reformasi yang tidak demokratis," ucap Bivitri, kepada era.id, di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Apalagi, sambungnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo sempat mengatakan presiden bisa dipilih oleh MPR.
"Jadinya ini kita kaya mau diambil lagi semua hak yang udah dikasih ke rakyat untuk memilih wakil-wakilnya, mau diambil lagi sama elite partai politik. Jadi kalau saya melihat (amendemen) itu jadi ke mana-mana banget," jelas Bivitri.
Salah satu partai yang memperjuangkan GBHN adalah PDI Perjuangan. Bahkan, hal itu dituangkan dalam sikap politik partai sesuai hasil Kongres V PDIP di Bali, Agustus tahun ini.
PDIP menganggap perlu adanya amendemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan pedoman penyelenggaraan pemeritah.
Gedung parlemen (Anto/era.id)
Namun, berjalannya wacana ini, Fraksi Partai NasDem mengusulkan amendemen UUD 1945 dilakukan menyeluruh, bukan hanya GBHN saja. Salah satu usulannya adalah tentang masa jabatan seorang presiden.
"Ada yang bilang masa jabatan presiden delapan tahun satu kali, ada tiga kali empat tahun, ada tiga kali lima tahun, saat ini dua kali lima tahun. Itu harus didiskusikan," kata Ketua Fraksi Partai NasDem di MPR Johnny G. Plate.
Semangat dalam amendemen UUD 1945, kata Johnny, tidak boleh hanya pada satu atau dua subjek saja. Menurut dia, pembahasan terkait masa jabatan eksekutif dari yang paling tinggi hingga terendah harus ikut di dalamnya.
"Mendalaminya harus komprehensif, tidak sepotong-sepotong," tuturnya.
Terpisah, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, fraksinya telah menyiapkan langkah antisipatif bila pembahasan amendemen UUD 1945 melebar ke sejumlah arah atau di luar pembahasan terkait GBHN.
Dia menambahkan, masa jabatan seorang presiden harus dipatok selama dua periode. Dia tak setuju jika masa jabatan presiden disentuh. Muzani berujar, presiden harus tetap dipilih lewat pemilihan secara langsung oleh masyarakat.
"Saya sangat setuju masa jabatan presiden harus dipatok maksimal dua periode," kata Muzani.
Usulan GBHN ini juga mendapat penolakan, di antaranya dari Partai Demokrat yang menganggap tidak tepat amendemen terbatas UUD 1945 tentang GBHN.
Menurut mereka aturan mengenai pembangunan jangka panjang dan menengah serupa GBHN telah tertuang dalam undang-undang. Karenanya, ketimbang mengamendemen UUD 1945, dia menyarankan untuk mervisi undang-undang tersebut.
"Di era reformasi, negara kita juga punya GBHN dengan nama yang berbeda. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Itu ada UU-nya. Sangat lengkap," Ketua Fraksi Demokrat di MPR Benny K Harman.