Jalan Panjang Masuknya Musik Rock di Tanah Air
Awal mula masuknya musik rock ini melalui vinyl atau piringan hitam yang hanya dimiliki oleh kaum menengah ke atas. Selain piringan hitam, lagu-lagu Chuck Berry, Carl Perkins, Bill Haley and His Comets, dan Elvis Presley juga dapat didengar melalui siaran radio luar negeri seperti ABC Australia, Hilversum Belanda, dan Voice of America.
Menurut penulis Denny Sakrie dalam bukunya yang berjudul 100 Tahun Musik Indonesia, musik rock juga masuk ke Indonesia lewat film musikal Rock Around the Clock (1956) yang menampilkan musisi Bill Haley and His Comet juga menjadi jembatan perkenalan anak muda dengan kultur rock tersebut.
Kegemaran lagu-lagu tersebut kemudian dimanifestasikan dalam bentuk orkes --sebutan band pada saat itu-- yang membawakan lagu dengan ritmik campuran antara rhytm, blues, dan country.
Lagu rock saat itu tak melulu soal gabuhan baru, para musisi kerap membawakan kembali lagu-lagu lama dengan kemasan yang berbau rock n roll, seperti lagu berirama keroncong Bengawan Solo (1840) ciptaan Gesang. Lagi itu dinyanyikan kembali dengan irama rock n roll oleh Oslan diiringi Orkes Irama Cubana Teruna Ria pimpinan Z. Arifin.
Lagu yang direkam sekitar 1958 menjadi salah satu bukti bahwa para musisi saat itu berupaya memainkan lagu yang menjadi tren global di eranya. Menurut Pengarsip musik dari Irama Nusantara David Tarigan, sejak adanya Elvis Presley dunia memasuki era rock yang banyak mengubah kultur anak muda. Sebelum era Elvis, cara pendengar mengapresiasi musisi belum fanatik namun rock hadir sebagai paket yang lengkap tidak hanya musik dan lirik tetapi juga gaya hidup.
Baca Juga: Kebangkitan Club Eighties dalam Cahaya
"Sebelumnya kan tidak ada cewek-cewek teriak-teriak saat menonton musik sampai kleper-kleper. Cara pemujaan baru itu muncul lewat bintang rock," kata David Tarigan, dikutip Antara.
Menurutnya, anak mudia di dunia Barat tak punya musik bagi generasinya. Mereka cenderung mendengarkan musik yang sama dengan para orang tuanya karena dianggap tak memiliki uang untuk membeli rekaman musik.
Sampai akhirnya pertama kali ketika Bill Haley mengeluarkan single rock n roll pada 1951. Dengan membawakan ulang tembang Rocket 88 yang ternyata disukai publik Amerika saat itu. Bill Haley kemudian menjadi tonggak sejarah rock and roll yang mencetak rekor dengan lagu Rock Around the Clock yang terjual 25 juta keping menurut Guinness Book of World Records.
Sejak saat itu para pemuda merasa bahwa rock and roll adalah musik yang mewakili mereka, dan mereka bisa melakukan apa saja untuk dapat menikmati musik-musik itu. "Ternyata anak muda kalau pengen sesuatu tuh ya bisa aja, dan pertama kalinya ada satu gaya baru dalam pemujaan, jadi orang-orang tak hanya mendengarkan lagunya, tetapi juga paket besar yang ditawarkan, ya profilnya, ya orangnya. Anak muda menganut gaya baru itu ya total, seperti bernapas saja," kata dia.
Tak berhenti disitu, kedatangan musik rock tak hanya mengubah kultur dalam menikmati musik namun industri musik itu sendiri. Rock menjadikan anak muda target pasar mereka. Ekspresi tersebut pun sampai ke Indonesia. Bukan hanya Bill Haley, Elvis Persley, dan kawan-kawan, kalangan kecil anak muda Indonesia juga mulai mengakses rock instrumental seperti band The Shadows asal Inggris.
Bedanya, jika Bill dan Elvis adalah solois, maka The Shadows --yang sebelumnya bernama The Drifters-- adalah band pengiring untuk penyanyi Cliff Richard pada 1958 hingga 1968. Terlebih The Shadows yang sempat main di Singapura pada tahun 1960-an telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap tren bermusik di kawasan Asia Tenggara.
Baca Juga: Tom Hanks Bakal Main dalam Film Elvis Presley
"Semua ingin menjadi The Shadows, semua ingin gitar stratocaster yang digunakan Hank Marvin (gitaris The Shadows). Mereka juga meniru vox amplifier yang digunakan oleh The Shadows," kata David.
Lewat tren ini munculah Eka Sapta yang menjadi grup musik instrumental asal Jakarta pada era 1960-an. Eka Sapta yang terdiri dari Bing Slamet, Ireng Maulana, Idris Sardi, Itje Kumaunang, Benny Mustapha, Darmono, dan Kamid, mengawali rekamannya dengan musik gaya The Shadows dan The Ventures.
Theodor KS dalam bukunya Rock n Roll Industri Musik Indonesia menyebutkan kelompok tersebut mengiringi penyayi solo baik di atas panggung bahkan di studio rekaman seperti Rima Melati, Suzanna, Vivi Sumanti, Lilis Suryani, dan Yanti Bersaudara.
Tak hanya The Shadows, duo asal Amerika The Everly Brothers juga menjadi salah satu patokan bermusik musisi Indonesia, hal itu tercermin dari cover album-album awal Koes Bersaudara yang hanya menampilkan Yok dan Yon Koeswoyo, seperti album The Everly Brothers yang menampilkan Don Everly dan Phil Evely. Tony Koeswoyo dalam kata pengantarnya pada LP pertama Koes Bersaudara (1964) menuliskan bahwa musik-musiknya terilhami oleh The Kalin Twins dan Everly Brothers.
Saat The Beatles muncul dan menjadi sensasi baru di dunia musik, barulah semua orang ingin nge-band sambil bernyanyi. Sampul album The Bealtes yang menampilkan semua personelnya juga ditiru, maka setelah itu Koes Bersaudara menampilkan semua anggotanya di cover album.