Ujaran Kebencian Lahir dari 'Rahim' Disparitas Ekonomi
Dari zaman baheula, kemiskinan memang menjadi pekerjaan rumah negara-negara di dunia. Jika tak mampu mengentaskan, 'PR' ini bakal menjadi warisan untuk generasi berikutnya. Indonesia misalnya. Dalam beberapa periode terakhir, pemerintah terus mengupayakan keluar dari jerat kemiskinan. Upaya itu pun tak sia-sia jika melihat pencapaian ekonomi nasional yang cenderung meningkat.
Tapi, menurut riset Bank Dunia, pertumbuhan tersebut memberi manfaat kepada 20 persen orang paling kaya di Indonesia saja. Sialnya, faktor disparitas ekonomi itu malah membuat ujaran kebencian di tengah masyarakat meningkat. Bukan asbun, itu kata Sosiolog Ariel Heryanto. Salah satu sumber kebencian, kata dia, adalah ketimpangan sosial dan ketimpangan ekonomi.
Selama hampir satu periode ini, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla secara konsisten berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Catatan itu bisa dilihat sejak 2015. Pada tahun itu catatan pertumbuhan ekonomi berada pada angka 4.79 persen. Lalu pada 2016, pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 5.02 persen. Pada 2017 pertumbuhan semakin meningkat menjadi 5.07 persen. Sementara 2018, cenderung turun tidak banyak tapi tetap dikisaran lima persen atau lebih tepatnya 5.06 persen.
Pertumbuhan ekonomi tersebut faktanya belum mampu menambal jurang antara si miskin dan si kaya. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi itu hanya memberi manfaat kepada 20 persen orang paling kaya di Indonesia.
Infografik (Ilham/era.id)
Senada dengan temuan World Bank, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melaporkan, hampir separuh aset nasional dimiliki 1 persen masyarakat saja. Menurut penjelasan Sekretaris TNP2K Bambang Widianto, satu persen orang di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional, sementara apabila dilihat dari 10 persen orang Indonesia, mereka menguasai 70 persen aset nasional. Artinya, 90 persen penduduk memperebutkan 30 persen sisanya.
Apabila melihat angka tingkat kesenjangan (rasio gini) Indonesia angkanya cenderung turun. Per Maret 2019, rasio gini Indonesia tercatat sebesar 0,382 turun 0,007 poin dibanding bulan sama tahun lalu yakni 0,389. Namun menurut ekonom Faisal Basri, hal itu bukan pertanda bahwa kondisi ekonomi di Indonesia baik-baik saja.
"Namun harus diingat bahwa BPS mengukur ketimpangan berdasarkan konsumsi, bukan pendapatan dan bukan kekayaan," tulis Faisal lewat situs web pribadinya faisalbasri.com.
Faisal mengutip data Global Wealth Report 2018 yang menjelaskan ketimpangan berdasarkan kekayaan, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional. Jumlah itu meningkat dari angka pada tahun 2017 yang tercatat sebesar 45,4 persen. "Posisi Indonesia tahun 2018 terburuk kelima di dunia setelah Thailand, Rusia, Turki, dan India," tulis Faisal.
Baca Juga : Jokowi dan Ambisi Pertumbuhan Ekonomi yang Meleset
Salah satu akibat dari adanya jurang ekonomi menurut Akademisi dan Sosiolog Ariel Heryanto adalah munculnya ujaran kebencian. Ariel menjelaskan, ujaran kebencian itu sebetulnya sudah ada sejak sejarah manusia.
"Selama ada ketimpangan sosial, ketimpangan ekonomi maka ada rasa tidak suka. Kalau orang tidak suka atau benci, maklum kalau ada kebencian. Sejarah manusia adalah sejarah ketidakadilan sebetulnya sejarah ketimpangan."
Menurut Ariel, bentuk dari ujaran kebencian antara dulu dan sekarang beda. Kalau dulu proses ungkapan kebencian tidak merata, karena hanya orang yang punya industri media yang dapat mengutarakan kebencian. Sementara hari ini sebaliknya, berkat kemajuan teknologi informasi, semua orang punya kesempatan untuk mengutarakan ujaran kebencian mereka.
Karena hari ini kita sudah memasuki era teknologi informasi atau era media sosial di mana sudah tidak ada batasan lagi dalam mengakses atau memberi informasi, sehingga dengan mudah kita bisa melihat ujaran kebencian ada di mana-mana.
Hal itu bisa lihat dari kasus soal ujaran kebencian yang belum lama terjadi. Misalnya kasus yang menimpa istri Dandim Kendari, Irma Nasution. Selain itu dalam waktu yang berdekatan kasus ujaran kebencian terjadi di Papua. Polda Papua menangkap AD (52) karena menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian di media sosial.
Itu hanya segelintir contoh dari ratusan kasus yang tercatat. Pada Juni lalu misalnya, Polri mengungkapkan tindak pidana ujaran kebencian lewat media sosial periode Januari-Juni 2019 meningkat dibandingkan sepanjang tahun 2019.
Pada periode Januari-Juni 2019, perkara tindak pidana ujaran kebencian yang ditangani Polri ada 101 perkara. Sementara itu, menurut Dedi, sepanjang tahun 2018 hanya ada sekitar 255 perkara ujaran kebencian selama setahun penuh.
"Kalau perkara ujaran kebencian ada 255 kasus ya selama tahun 2018, setahun penuh. Sementara itu pada Januari-Juni 2019 saja sudah ada 101 kasus," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol. Dedi Prasetyo kepada bisnis.com.