Mundurnya Demokrasi di Era Jokowi dan Segala Jawaban di Baliknya
Jawaban pertama yang sekaligus jadi indikator kemunduran demokrasi adalah tak terselesaikannya kasus teror terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
Selain itu, pengesahan Undang-Undang (UU) KPK juga jadi salah satu yang diungkap KontraS. "Demokrasi kita tidak hanya mundur, tapi murung. KPK dan Novel hanya satu kasus," kata Koordinator KontraS Yati Andriyani di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (19/10/2019).
Indikator lain kemunduran demokrasi di era pemerintahan Jokowi adalah pelarangan demonstrasi oleh kepolisian sebagai otoritas keamanan. Bagi KontraS, pelarangan tak berdasar. Menyampaikan pendapat di muka umum, bagaimanapun adalah hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi.
Kembali soal kasus penyiraman air keras Novel Baswedan. Yati menilai jika kasus ini tak segera diselesaikan, maka bukan tak mungkin citra Jokowi bakal semakin memburuk.
Dalam kasus ini, KontraS kembali menyampaikan usulan terkait tim gabungan pencari fakta independen yang kerjanya tak terafiliasi dengan lembaga atau pemegang kepentingan manapun.
Segala kekusutan ini, menurut KontraS masih bisa ditangani selama Jokowi memiliki semangat berdemokrasi. Saat ini, berbagai bola panas tengah dipegang Jokowi. Dalam kasus Novel, UU KPK, atau pun kebebasan berpendapat. Terkait UU KPK, KontraS hingga saat ini masih penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pembatalan UU KPK dari Jokowi.
Diskusi publik di Tjikini (Tsa Tsia/era.id)
Jokowi tersudut kasus Novel
Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum Novel Baswedan, Saor Siagian menyarankan Jokowi segera membentuk tim pencari fakta baru terkait kasus penyerangan Novel Sebab, jika kasus ini tak segera diselesaikan, maka bisa menyandera Presiden Jokowi dan institusi kepolisian ke depan.
Saor juga tak menampik, kasus penyerangan penyidik KPK senior Novel Baswedan ini berkaitan dengan kasus suap impor daging sapi yang kemudian ramai dengan buku merahnya. Buku berkelir merah ini diduga berisi catatan para penerima suap dari pengusaha Basuki Hariman.
Apalagi, sebelum penyerangan terjadi, Novel sempat bertemu dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Pertemuan tersebut untuk mengonfirmasi nama Tito selaku Kapolda Metro Jaya yang ditulis menerima uang dalam buku merah tersebut.
"Padahal waktu itu Novel, sebelum serangan pada beliau tanggal 10, Novel kan bertemu saudara Tito Kapolri seminggu sebelum kejadian, mengklarifikasi sesungguhnya bahwa tidak ada menargetkan saudara Tito untuk tersangka ... Kemudian Novel datang sebagai utusan KPK, mungkin ada polisi yang menggembuskan bahwa ia akan tersangka," kata Saor.
Sebagai orang nomor satu di instansi kepolisian, Saor bilang, Tito harusnya bisa menyelesaikan kasus tersebut untuk membersihkan namanya dan membuat kasus buku merah jadi terang benderang.
"Ini juga harus terungkap demi harkat martabat saudara Tito juga, demi harkat martabat kepolisian dan martabat dari presiden yang telah memerintahkan (penyelesaian dalam) tiga bulan," tegas dia.
Jika ke depan kasus Novel Baswedan tidak bisa diselesaikan. Maka sudah selayaknya mereka yang bertugas menyelesaikan kasus tersebut untuk mundur dari jabatannya. Para pemimpin daerah, lembaga negara, hingga presiden, wakul presiden, dan petinggi lain negara.
"Oleh karena itu mestinya mereka mengundurkan diri atau mereka tak layak dipercayakan timnya dalam kabinet presiden ini akan menyandera Presiden juga dalam periode semenjak beliau dilantik," tutupnya.