DPR Soroti Pekerjaan Rumah Jokowi Diperiode 2019-2024
Menurut Aziz, besarnya gerbong politik Jokowi saat ini, bisa menjadi satu keunggulan yang luar biasa bagi pemerintahannya. Tetapi bila salah penanganannya, bisa menjadi beban yang memberatkan di kemudian hari.
"Membersihkan sampah politik yang berserak pasca persaingan politik antara kubu opisisi dan pemerintah selama lima tahun terakhir. Sulit dipungkiri bahwa sampah konflik tersebut sudah membentuk pattern budaya politik yang konfliktual di tengah masyarakat, mulai dari kelas menengah hingga akar rumput," ujar Aziz, dalam keterangan tertulis yang diterima era.id, di Jakarta, Senin (21/10/2019).
Aziz menyebut, dalam beberapa tahun terakhir, segregasi kedua kelompok ini bisa meningkat ke titik tertingginya dan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karenanya, hal-hal semacam ini perlu segera dibersihkan.
"Menghidupkan kritisisme civil society. Harus di akui, bahwa bersatunya elit politik saat ini, sebenarnya sebuah preseden buruk bagi demokrasi. Itu sebabnya, oposisi tetap dibutuhkan. Salah satu pihak yang bisa mengambil alih peran itu sekarang, adalah kelompok civil society, seperti mahasiswa, kelompok pro-demokrasi, aktifis HAM dan lingkungan, aktifis akti-korupsi, dan lainnya," ucap Aziz.
Mantan Ketua Komisi III DPR ini menegaskan, pemerintah harus menyediakan kanal khusus untuk menjaga agar kritik mereka tidak ditunggangi oleh kelompok tidak bertanggungjawab yang bisa membahayakan situasi keamanan nasional.
Sementara dibidang hukum, lanjut Aziz, polemik terkait Revisi UU KPK dan penolakan atas RUU KUHP masih akan berlangsung dalam beberapa waktu ke depan. Gelombang tuntuan agar presiden mengeluarkan Perppu KPK juga tampaknya masih akan berlanjut. Namun, jata dia, apapun nanti keputusan akhir yang akan dipilih presiden, jangan sampai isu KPK ini menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Jokowi Jilid II mendatang.
Di bidang pertahanan dan keamanan, kata Aziz, pemerintah perlu mewaspadai perubahan wajah ancaman, dari konvensional ke non-konvesional. Perspektif ini sebenarnyasudah lama dipahami oleh pemerintah.
"Tapi dari fenomena ancaman yang muncul akhir-akhir ini seperti ancaman terorisme, radikalisme, separatisme, dan aksi massa, menunjukkan adanya lompatan metodologis dari pola ancaman itu sendiri," ujarnya.
Terkait ancaman terorisme dan radikalisme, kata Aziz, hal ini sudah diurai cukup rinci dalam artikel 'Waspada Perubahan Wajah Teror'. Sedangkan, ancaman separatisme dalam kasus Papua, kata Aziz, semua menyaksikan, bagaimana satu isu bisa demikian cepat bereskalasi hingga ke level global.
"Kasus ujaran rasisme di Surabaya, dalam waktu beberapa hari saja sudah berhasil mengguncang isu Papua pada tiga aras; kerusuhan di akar rumput; tuntutan merdeka di level kelas menengah; dan tuntutan dari negara-negara di Kepulauan Pasifik untuk mengusut kasus pelanggaran HAM Papua. Hal ini cukup mengejutkan, dan tidak pernah terjadi sebelumnya," ucapnya.
Sedangkan soal aksi massa, Aziz berujar, dalam beberapa tahun terakhir semua pihak menyaksikan bagaimana aksi massa sudah berhasil dalam waktu cepat mengkonsolidasi dari dalam skala besar. Dalam kasus demo mahasiswa yang baru-baru ini terjadi, aksi mereka berhasil mematahkan sejumlah pattern.
"Pertama, aksi ini tidak memiliki patron intelektual, namun isu yang ditembak terbilang advance. Kedua, tidak ideologis, tapi terencana. Ketiga, sporadic, tapi rapuh, sehingga sangat mudah bertransformasi menjadi anarkis. Aksi ini mirip dengan aksi mahasiswa yang terjadi di Hong Kong," tuturnya.