Investigasi Komnas HAM Terkait Peristiwa 21-23 Mei
"Kekerasan yang terjadi dalam peristiwa 21-23 Mei 2019 adalah kelanjutan dari sikap yang menolak hasil pilpres yang telah diumumkan oleh KPU RI," ujar Wakil Ketua TPF Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam konferensi pers di Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).
Peristiwa 21-23 Mei 2019 bermula dari aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang berujung ricuh. TPF Komnas HAM disebut Beka telah bertemu dengan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Polri yang dipimpin Komjen Moechgiyarto pada 11 dan 17 Juni 2019. Informasi dari TGPF Polri, Beka menyebut ada 10 orang tewas dari peristiwa tersebut di Jakarta dan Pontianak.
Beka menyebut 8 orang terluka tembak dan 1 orang terluka di kepala dari hantaman benda tumpul di Jakarta. Sedangkan seorang lagi di Pontianak mengalami luka tembak.
"Empat dari 10 orang yang meninggal dunia adalah anak-anak sehingga patut diduga ada upaya menjadikan anak-anak sebagai korban dan sasaran kekerasan untuk memancing emosi massa," kata Beka.
Selain itu, TPF Komnas HAM menyebut tindakan kekerasan yang dilakukan oknum polisi. Bukti kekerasan itu disebut Beka terekam dalam video di Kampung Bali, di depan kantor Kementerian ATR/BPN, di Jalan Kota Bambu Utara I, di Pos Penjagaan Brimob, dan di Jalan KS Tubun.
Tindakan kekerasan itu, disebut Beka, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Untuk itu, dia meminta petinggi Polri untuk menjatuhkan tindakan tegas pada para oknum itu.
Terkait peristiwa itu, Komnas HAM meminta Presiden Joko Widodo untuk mengambil langkah strategis untuk mencegah kembali peristiwa 21-23 Mei kembali terulang. Terlebih dengan membenahi sistem pemilu ke depannya dan mendorong agar tidak ada penyebaran ujaran kebencian.
"Untuk Presiden Joko Widodo diharapkan mengambil langkah strategis mencegah terulangnya kembali peristiwa 21-23 Mei. Presiden perlu pastikan Polri menindaklanjuti proses hukum terhadap semua pelaku yang telah mendorong terjadinya kerusuhan," pungkasnya.