Buku Disebut Segera Jadi Barang Antik di Era Digital

Bandung, era.id – Di era Industri 4.0 yang serba digital saat ini, ada orang yang dikelompokkan sebagai imigran digital dan ada pula yang disebut pribumi digital. Imigran digital adalah orang yang hidup di masa transisi antara budaya cetak dan digital. Sedangkan pribumi adalah generasi yang lahir pada era milenium, di mana segala aktivitasnya sangat tergantung pada layar sentuh. Kamu ada di generasi yang mana?

Masalah imigran digital dan pribumi digital tersebut muncul dalam diskusi bedah buku Googling Gutenberg karya Atep Kurnia di sela Soemardja Book Fair di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berlangsung hingga 8 November 2019 mendatang.

Lewat buku yang diterbitkan ITB (2019) itu, Atep Kurnia menelusuri sejarah literasi umat manusia sejak zaman manuskrip kuno hingga ke masa kini yang disebut era 4.0, sebuah revolusi yang berbasis teknologi informasi dan digital.

Atep mulai menulis buku tersebut sejak 2007, sebelum ia kuliah di sastra Inggris Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung. Menurutnya, perkembangan literasi terdiri dari empat fase. Pertama fase lisan. Pada fase ini belum ada pengaruh tulisan atau barang cetakan lainnya. Fase ini dicirikan dengan adanya nyanyian, folklor atau cerita rakyat yang diturunkan secara lisan.

Fase kedua adalah fase literer atau disebut juga kultur hirografik. Di sinilah terjadi peralihan dari budaya lisan ke budaya tulis. Berbagai peristiwa penting di masa kuna direkam dalam bentuk prasasti. Namun prasasti tersebut pada zamannya bukan dikonsumsi publik, melainkan sebagai saksi dari suatu peristiwa. “Tradisi menulis naskah atau manuskrip masuk ke fase ini,” lanjut Atep.

Ia menjelaskan, pada tradisi lisan orang-orang pada zamannya lebih bersifat komunal, unsur kebersamaan dalam komunitas sangat kental, termasuk hubungan antar personal yang terjalin cukup baik. Sedangkan pada fase tulisan, hubungan antar personal mulai agak berjarak.

“Karena menulis menyebabkan keberjarakan antara orang dan orang lain,” terangnya.

Ia mengilustrasikan buku dengan penulisnya. Begitu buku tersebut tercetak, maka dia akan berjarak walaupun dengan si penulisnya.

Berikutnya fase ketiga, yakni print culture yang dimulai pada abad ke-15 ketika Johannes Gutenberg (sekitar 1398-1468) menciptakan mesin cetak yang mendorong terjadinya revolusi cetak.

Pada era print culture, manusia sangat bertaut dengan buku. Penemuan ini memungkinkan orang sangat individual, berpikir kritis dan logis. Mesin cetak akhirnya memicu terjadinya nasionalisme di banyak negara.

Selanjutnya fase keempat yang disebut era elektronik atau kelisanan kedua. Atep mencatat revolusi ini mulai berkembang sejak tahun 60-an atau ketika radio dan televisi ditemukan. Fase kelisanan kedua berangkat dari tradisi lisan dan tulisan.

Mengapa disebut kelisanan kedua? Menurut Atep, pada fase ini terjadi penggabungan kultur lisan dan tulis. Misalnya, penyiar radio dimediasi oleh skrip, begitu juga penyiar televisi. Tradisi ini mirip dengan yang terjadi pada masa manuskrip di mana cara membacanya biasa dikeraskan untuk menegaskan pelafalan huruf.

Atep menyimpulkan, sejarah literasi tidak berjalan linier tetapi sirkuler atau melingkar. Seperti yang terjadi hari ini ketika teknologi digital menggabungkan tradisi-tradisi literasi di masa lalu seperti kelisanan, tulisan, menjadi dalam satu platform digital.

Dalam situasi digital sekarang, menurut Atep secara umum orang terbagi ke dalam dua golongan, yaitu imigran digital dan digital native

“Ada orang yang jadi pribuminya dunia digital (digital native) yang lahir 2000-an. Misalnya, saya lahir 70-an akhir termasuk tamu atau imigran digital,” katanya.

Antara imigran digital dan digital native memerlukan jembatan penghubung supaya terjadi komunikasi. Jika tidak, salah satu tradisi dari kedua kelompok tersebut tidak bertemu. Bahkan tradisi cetak seperti buku mungkin terancam menjadi benda antik di era digital ini.

 

Tag: buku