Mendagri Soroti Biaya Politik Tinggi Akibat Pilkada Langsung
"Banyak manfaatnya partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia. Sudah mahar politik itu," ujar Tito usai Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Baca Juga: Kongres Partai NasDem Bahas Pemilu Presiden 2024
Namun Mendagri tak merasa terkejut dengan tingginya biaya politik saat Pilkada langsung, sehingga banyak kepala daerah yang berpotensi melakukan tindak pidana korupsi dan terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia lantas melakukan hitung-hitungan jika seseorang ingin mencalonkan diri sebagai bupati misalnya. Menurutnya, seorang calon kepala daerah bisa mengeluarkan biaya Rp30 miliar hingga Rp50 miliar. Sementara jika terpilih, gaji yang diterima per bulan berkisar Rp100 juta atau Rp200 juta. Maka, bila dikali 12 bulan dan dikali lima tahun hanya terkumpul sekitar Rp12 miliar.
"Sementara yang keluar Rp30 miliar, rugi enggak? Apa benar saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa terus rugi? Bullshit. Saya ndak percaya," tegas Tito.
Langkah Mendagri Cegah Korupsi Kepala Daerah
Oleh karena itu, Mantan Kapolri ini menyebut pihaknya akan melakukan riset akademik untuk mengetahui dampak negatif dan positif Pilkada langsung. Ia juga mengajak institusi sipil dan LSM untuk bersama-sama melakukan evaluasi.
"Bisa opsi satunya tetap pilkada langsung, tapi bagaimana solusi mengurangi dampak negatifnya, supaya enggak terjadi korupsi biar tidak terjadi OTT lagi. Tinggal pilih saja kok kepala daerah yang mau di OTT," kata Tito.
Selain itu, Tito juga akan membagi beberapa klaster dan membuat indeks demokrasi per daerah. Menurutnya, tidak semua daerah di Indonesia memiliki pemahaman demokrasi yang sama. Langkah selanjutnya, kata Tito, ia akan akan mengedepankan pengawasan internal kepala daerah. Pengawasan itu telah disinergikan dengan Inspektorat Jenderal Kemendagri.
Ia mengatakan, Kemendagri telah bekerja sama dengan BPK, BPKP, KPK, Polri, dan Kejaksaan. Hal itu dalam rangka melaksanakan pengawasan keuangan dan pembangunan.
"Untuk pencegahan korupsi yang paling utama adalah kita mengedepankan pengawasan internal karena itu pengawasan internal di daerah terkoneksi dengan pengawasan internal yang Irjen di Kemendagri," ujar Tito.