Jangan Kasih Tempat Untuk Pelaku Pelecehan Seksual di Mosh Pit!

Jakarta, era.id – Seharusnya menonton konser atau ikut gig musik bisa menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi semua kalangan, bukan sebaliknya. Sayangnya, stage musik masih kurang ramah terhadap penonton, maupun personel band perempuan. Mereka kerap digelayuti rasa was-was akan adanya bahaya pelecehan seksual ketika menghadiri suatu acara musik, baik itu konser berskala besar atau pun kecil.

Misalnya seperti yang dialami Wawi beberapa waktu lalu. Lewat akun media sosialnya @Pujanggavati ia membagikan pengalaman pelecehan seksual yang ia dapatkan ketika menonton konser yang kebetulan menampilkan salah satu band rock yang tengah naik daun yaitu Feast. Acara musik itu berlangsung di sebuah mall dan gratis, penontonnya penuh luar biasa, nyaris tidak ada jarak kosong dari depan hingga belakang panggung.

Wawi mengaku ini kali pertama untuknya menonton konser musik dan berdiri di barisan paling depan. Menurutnya, posisinya cukup aman, sebab ia berdiri tepat di belakang sang pacar yang siaga menjaganya jika mosh pit mendadak menggila. Namun saat Feast membawakan lagu kedua yang berjudul ‘Dalam Hitungan’ dan banyak orang yang melakukan crowd surfing – aksi angkat badan di tengah kerumunan penonton – Wiwa merasakan ada hal yang aneh. Ada tangan seseorang yang meremas payudaranya, seketika ia dihinggapi perasaan takut. Pasalnya, tangan itu bukan milik pacarnya.

“Nah, pas lagu kedua ini tiba-tiba payudara gue di gerepe. Jujur gue kira, gue halu. Maksud gue kalau cowok gue emang enggak sopan mau gue tegur. Kenyataannya, tangan cowok gue dua-duanya megang teralis. Terus itu tangan siapa? Gue takut banget, jujur,” ujar Wawi.

Kejadian itu rupanya tidak berhenti di satu lagu, di lagu berikutnya, si pelaku kembali menjalankan aksinya dengan meremas pantat Wawi. Kali ini ia memberanikan diri untuk melawan walaupun hanya sebatas menepis dan menatap tajam ke arah pelaku. Posisinya yang terjebak di tengah-tengah padatnya crowd membuat Wawi sulit untuk menangkap sang pelaku sekalipun ia mengaku sempat menepis tangan si pelaku. Ia juga kesulitan mengajak Dhanu, sang pacar, untuk keluar dari gig. Wawi takut hingga ingin menangis.

Rupanya yang dialami Wawi juga dialami oleh perempuan lainnya di konser tersebut. Ia mengatakan saat hendak keluar dari kerumunan ada seorang perempuan yang berdiri di sebelah kirinya menampilkan wajah seperti menahan tangis. Saat ditanya, perempuan itu mengalami pelecehan seksual yang sama seperti yang terjadi pada Wawi.

Tanpa berlama-lama, Wawi dan perempuan itu keluar dari kerumunan dengan dibantu oleh Dhanu. Di luar kerumunan, tangis Wawi pecah, ia merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Ini merupakan kali pertama baginya mendapat pelecehan seksual di tempat umum, di tempat yang seharusnya bisa membuatnya happy sebab bisa melihat penampilan band kesukaannya secara langsung dan dekat.

“Sempat jijik sama diri sendiri beberapa hari, pun rasanya mandi bekali-kali kaya enggak hilang rasa jijiknya. Trauma,” kata Wawi.

Wawi bukan perempuan pertama yang mengalami pelecehan seksual di area konser musik. Kejadian serupa pernah pula terjadi pada diri Debby Selviana vokalis band hardcore punk SLOST yang lebih dikenal dengan nama panggung Janet. Saat dihubungi, Janet mengaku kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 2016, kala itu SLOST menjadi salah satu line up artis yang tampil pada sebuah konser kecil di daerah Boja, Kendal, Jawa Tengah.

Ia mengatakan di tengah mosh pit yang mulai rusuh, ia melakukan aksi stage dive – aksi melompat ke arah penonton – yang rupanya disambut dengan tangan nakal dari penonton. Sebuah tangan yang berada di sisi kanan tubuhnya tiba-tiba meremas payudaranya. Tahu dirinya mendapat pelecehan seksual, Janet langsung menjatuhkan diri dan memukul si pelaku.

“Itu lagi main biasa, terus stage diving, terus terjadi pelecehan itu. Karena aku tahu orangnya, ya aku pukulin aja,” kata Janet kepada era.id.

 

Youtube: HurenChelsea TV

Janet mengaku tak peduli lagi dengan band-nya yang tengah manggung maupun kondisi mosh pit yang disesaki penonton, yang jelas ia hanya ingin memberi pelajaran kepada si pelaku dengan menghajarnya habis-habisan. Ia mengaku saat kericuhan itu sempat ada panitia yang memisahkan, tapi ia tak mengingat jelas bagaimana prosesnya.

“Aku enggak ngerti, tapi (panitia) misahin. Tapi poinnya adalah aku enggak peduli panitia gimana atau band-ku gimana, yang penting orang itu habis (dipukul),” ujar Janet.

Mosh Pit Seharusnya Menjadi Milik Bersama

Apa yang terjadi dengan Wiwa dan Janet tidak berhenti di mosh pit saja. Setelah pelecehan seksual terjadi dan keberanian mereka membagikan pengalaman pahit itu melalui media sosial, rupanya mereka juga harus berhadapan dengan komentar seksis dan menyudutkan mereka, meski tak sedikit juga yang memberikan dukungan kepada mereka.

Banyak yang menyalahkan korban pelecehan seksual sebagai kesalahan pribadi dan mewajarkan hal tersebut. Wiwa mengaku mendapat komentar seksis setelah mengunggah pengalamannya mendapat pelecehan seksual di media sosial, misalnya seperti ini:

“Kalau nggak mau digituin, ya di rumah aja.” bunyi komentar warganet.

“Lagian bisanya cuma nangis. Lagian cewek ngapain sih disitu.”

“Kaya gitu diem aja, jangan-jangan menikmati?”

Atau kalimat seksis lainnya, “kalau outdoor aja enggak mau, coba di indoor di tempat tertutup dan cowoknya yang lakuin, kamu mau kan?”

Janet mengatakan pelecehan seksal di acara konser musik sering terjadi. Menurutnya hal ini terjadi karena belum lepasnya budaya patriarki di Indonesia yang memandang bahwa konser atau gig musik hanya dihadirkan untuk laki-laki. Sementara perempuan seolah tidak mendapat tempat, bahkan tidak diperbolehkan berada di tengah-tengah mosh pit. Karenanya banyak pelecehan seksual baik verbal maupun non verbal kerap terjadi kepada perempuan saat menonton konser musik.

Menurutnya tidak seharusnya pelecehan seksual terhadap perempuan di acara konser musik dijadikan suatu kewajaran. Ia menegaskan stage ataupun mosh pit adalah milik bersama, apa pun gender penontonnya, dan menjadi tugas bersama untuk menciptakan suasana juga lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua orang.

“Enggak seharusnya seperti itu ya, karena stage itu kan milik bareng, ya perempuan dan laki-laki. Nggak ada batasan kamu harus di depan, kamu perempuan harus di belakang, nggak seperti itu karena ini space bareng kita, harus saling jaga, kita harus setara, kita harus tahu gimana caranya aman, jaga satu sama lain,” papar Janet.

Janet juga menceritakan pengalaman salah seorang temannya yang mendapat perlakukan sangat tidak senonoh dari penonton saat manggung, dan itu menurutnya terjadi di stage konser besar bukan kolektif.

“Salah satu temen aku tuh pas konser, di depan dia ada orang yang masturbasi di depannya. Dan itu konser besar, yang datang bukan orang sembarangan,” kata Janet.

“Jadi nggak ngaruh. Mau tiketnya harga sejuta itu enggak ada artinya kalau orang tersebut nggak sadar tentang stage di situ untuk bareng-bareng,” tambahnya.

Belakangan vokalis band Feast, Baskara Putra menaruh perhatian besar terhadap masalah pelecehan seksual terhadap perempuan, apalagi kejadian tersebut dialami oleh satu fansnya yang tengah menonton penampilan band-nya. Secara kolektif, Baskara menggagas untuk membuat sebuah tanda bertuliskan S.O.S dengan latar warna merah di layar handphone untuk meminta pertolongan bagi korban yang mengalami pelecehan seksual di tengah konser.

Idenya ini pun didukung oleh banyak musisi lainnya, menurut mereka dengan tanda S.O.S maka band yang sedang tampil bisa membantu korban dan panitia untuk menangkap pelaku. Janet mengatakan apa yang dilakukan Baskara sebenarnya bukan hal yang baru, sebelumnya kampanye untuk menghentikan pelecehan seksual terhadap perempuan sudah kerap disuarakan, sayangnya budaya itu masih sulit dihilangkan. Penyebabnya, karena banyak yang masih membiarkan.

“Budaya ini sulit sekali dihilangkan jadi kita harus speak up juga,” kata Janet.

Meskipun bukan hal baru, sebagai musisi, Janet mendukung penuh kampanye yang digagas oleh Baskara. Menurutnya, kepedulian Baskara akan membawa pengaruh besar, apalagi Feast saat ini tengah naik daun dan digandrungi banyak muda mudi. Dengan demikian, kata Janet, Baskara dan Feast membantu orang lain untuk lebih berani menyuarakan masalah ini.

“Orang yang suka sama mereka (Feast) itu banyak, jadi aku yakin pengaruhnya sangat besar. Menurut aku mereka juga membantu orang untuk sadar membicarakan ini,” kata Janet.

Adilla, salah satu orang di belakang konser musik Synchronize Festival pun membenarkan kata-kata Janet. Menurutnya pelecehan seksual memang rentan terjadi pada perempuan di acara konser atau gig musik maupun di luar mosh pit. Namun ia mengaku saat acara Synchronize Festival, baik dirinya ataupun panita lainnya tidak mendapat laporan mengenai hal tersebut.

“Terkadang memang kalau terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan itu sangat rentan di manapun, tidak hanya terjadi di lingkungan gig saja. Kami (Synchronize Fest) bersyukur belum ada laporan, semoga hal ini tidak terjadi di konser mana pun,” kata Adilla saat dihubungi era.id.

Ia juga mengapresiasi kampanye yang dilakukan oleh Baskara dan beberapa rekan musisi lainnya. Menurutnya, hal itu benar-benar bisa membantu pihak penyelenggara untuk mengatisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan tanda S.O.S, kata Adilla, pihak penyelenggara juga menjadi lebih sigap.

“Itu bisa menjadi salah satu solusi yang cukup bermanfaat ke depannya bagi pihak penyelenggara maupun acara di manapun, dan kami juga sigap dari segi petugas keamanan yang bertugas di lapangan,” ujarnya.

 

Tag: konser reuni dewa 19