Alasan Kenapa Wacana Masa Jabatan Presiden 'Nambah' Harus Ditolak
Jakarta, era.id - Wacana amandemen UUD 1945 yang merupakan salah satu rekomendasi MPR periode 2014-2019, terus menguat hingga saat ini, terutama langkah pimpinan MPR yang gencar melakukan safari kebangsaan mengunjungi pimpinan organisasi kemasyarakatan dan partai politik.
MPR periode lalu merekomendasikan dilakukannya amandemen UUD 1945 untuk menghadirkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Beberapa pihak ada yang khawatir kalau amandemen tidak hanya menyasar soal menghadirkan haluan negara namun menyentuh hal yang fundamental bagi bangsa Indonesia, sehingga mereka menolak.
Sebanyak 10 pimpinan MPR tentu saja tidak mau gegabah dalam hal amandemen tersebut karena keputusan yang mereka hasilkan, akan berpengaruh pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, para pimpinan MPR mengambil langkah meminta masukan masyarakat dari berbagai kalangan seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, mahasiswa, dan tentu saja kalangan partai politik terkait hal-hal apa saja yang perlu diamandemen.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengakui pimpinan MPR saat ini menampung semua wacana dan pemikiran dari elemen masyarakat, salah satu masukannya terkait perubahan masa jabatan presiden-wakil presiden.
Masukan masyarakat itu, menurut dia, seperti ada yang mengusulkan lama masa jabatan presiden selama lima tahun namun dapat dipilih tiga kali. Selain itu ada usulan presiden cukup satu kali masa jabatan saja namun tidak lima tahun namun delapan tahun.
Usulan masa jabatan presiden sebanyak tiga periode, kata Sani, berasal dari anggota Fraksi Partai NasDem, namun sekretaris jenderal DPP PPP itu enggan mengungkapkan sosok pengusul itu.
Namun dia menjelaskan, secara garis besar usulan tiga periode itu memiliki argumentasi agar program-program pembangunan terutama pembangunan fisik dan infrastruktur yang dilaksanakan pemerintahan Jokowi sebagai presiden bisa dituntaskan apalagi ada agenda besar.
Ia menilai wacana tentang penambahan masa jabatan presiden merupakan hal yang biasa saja dan pendapat tersebut akan ditampung pimpinan MPR.
Ia mengakui rekomendasi MPR periode lalu terkait amandemen UUD lebih menekankan bersifat terbatas, terkait haluan negara namun apakah usulan yang terkait dengan masa jabatan presiden ini akan menjadi bagian dari sesuatu yang diamandemen, masih terlalu pagi untuk dijawabnya.
Saat ditanya sikap PPP, dia menegaskan dua periode masa jabatan presiden bukan sesuatu yang jelek dan partainya belum berpikir untuk menambah masa jabatan presiden.
Ia menilai usulan tiga periode tersebut ada sisi positif dan negatif, dan sisi negatifnya adalah menghambat regenerasi kepemimpinan nasional.
Fraksi-Fraksi MPR Menolak
Masa jabatan presiden-wakil presiden dalam UUD 1945 disebutkan dalam pasal 7 yaitu: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pernyataan Sani terkait wacana masa jabatan presiden tersebut mendapatkan tanggapan yang beragam dari kalangan partai politik.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, mengakui memang ada masukan dari masyarakat terkait masa jabatan presiden, namun hal itu belum pernah dibahas di tingkat pimpinan MPR.
Menurut dia, usulan perubahan masa jabatan presiden-wakil presiden itu tidak boleh "dibunuh" sehingga biarkan saja berkembang dan pimpinan MPR melihat bagaimana respon masyarakat.
Ia mengatakan secara formal belum ada fraksi dan kelompok DPD di MPR yang mengusulkan perubahan masa jabatan presiden-wakil presiden namun kalau ada pendapat dari anggota MPR, itu bukan sikap resmi fraksi atau kelompok DPD.
Soesatyo mengatakan, safari kebangsaan pimpinan MPR mengunjungi pimpinan partai politik, menyepakati amandemen untuk menghadirkan GBHN namun tidak menyentuh sisi politik seperti jabatan presiden dan terkait tata cara pemilihan presiden.
Menurut dia, amandemen terbatas UUD 1945 tidak akan masuk sistem politik, lebih pada pembangunan ekonomi Indonesia agar bisa berkelanjutan karena selama ini tidak fokus pada tujuan jangka panjang yang lebih besar sehingga ketika terjadi pergantian presiden, terjadi pergantian tujuan pembangunan.
Ia menegaskan, tidak ada dari 10 pimpinan MPR maupun individu anggota MPR secara formal yang mendorong masa jabatan presiden-wakil presiden menjadi tiga periode namun hal itu berkembang di masyarakat dan pihaknya tidak bisa mencegah wacana tersebut berkembang.
Ia menilai secara pribadi menilai masa jabatan presiden sebanyak dua kali dan dipilih secara langsung, sudah pas dan tepat sehingga tidak perlu diubah.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Basarah, mengatakan, mereka belum pernah membahas wacana perubahan masa jabatan presiden-wakil presiden karena mengubah satu pasal yaitu menambah kewewenangan MPR menetapkan haluan negara, menimbulkan pro-kontra yang luar biasa di masyarakat apalagi kalau menyangkut pasal yang substansial.
Ia berpegang pada kesepakatan formal di MPR yaitu rekomendasi menghadirkan haluan negara sehingga dalam rapat pimpinan MPR disepakati wacana amandemen diserahkan dahulu kepada alat kelengkapan MPR yang fungsinya mengkaji, menyerap aspirasi, mengolah, dan berdiskusi yaitu Badan Pengkajian MPR.
Ia menilai tidak ada urgensi mengubah konstitusi untuk mengubah masa jabatan presiden karena yang mendesak adalah menghadirkan kembali haluan negara disebabkan selama ini ada diskontuinitas pembangunan antara satu periode dengan periode kepemimpinan lainnya.
Karena itu menurut dia, kalau haluan negara terbentuk maka masyarakat tidak perlu khawatir siapapun presiden, gubernur, wali kota karena pembangunan nasional harus dijalankan secara berkelanjutan.
Basarah menilai sistem presidensial sudah cocok dijalankan di Indonesia sehingga tidak akan mengubah prinsip-prinsip presidensial termasuk masa jabatan presiden. Menurut dia, masa jabatan presiden dua periode yang masing-masing periode lima tahun, sudah cukup untuk mewujudkan konsepsi pembangunan dan janji-janji politik.
Ketua Fraksi Partai Gerindra MPR, Ahmad Riza Patria, mengatakan, masa jabatan presiden-wakil presiden yang diatur dalam pasal 7 UUD 1945 yaitu dua periode tidak perlu diubah karena sudah sesuai dengan semangat reformasi yaitu kekuasaan dan kewenangan harus dibatasi.
Ia menilai Indonesia adalah negara yang besar dengan suku, bangsa, etnis, agama, dan penduduk yang banyak sehingga masa jabatan presiden jangan lama-lama.
Ia mengakui ada wacana masa jabatan tetap dua periode namun tiap periode menjadi enam tahun dan wacana satu periode namun delapan tahun. Menurut dia, masa jabatan presiden yang ideal adalah dua periode masing-masing lima tahun, sama dengan masa jabatan kepala daerah, dan anggota legislatif.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan, menilai masa jabatan presiden-wakil presiden sudah cukup dua periode, masing-masing periode lima tahun sehingga tidak ada urgensinya untuk mengubah aturan tersebut.
Menurut dia, amandemen UUD sifatnya terbatas sehingga tidak akan sampai pada hal tentang perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden. Ia menjelaskan, saat ini pimpinan MPR masih melakukan safari kebangsaan, menemui para tokoh masyarakat dan pimpinan partai politik untuk meminta masukan terkait amandemen UUD 1945.
Selain itu menurut dia, pimpinan MPR juga akan melakukan safari ke berbagai daerah untuk menyerap masukan terkait amandemen, sehingga masih terlalu dini untuk mengusulkan perubahan masa jabatan presiden-wakil presiden.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN, Zulkifli Hasan mengatakan, rekomendasi MPR periode 2014-2019 adalah amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan kembali haluan negara. Hal itu menurut dia penting agar pembangunan Indonesia berjalan berkelanjutan untuk 50 hingga 100 tahun ke depan.
Ia mencontohkan, dahulu India tidak memiliki rencana pembangunan strategis sehingga tiap presiden memiliki visi misi sendiri.
Saat ini menurut dia, India memiliki rencana pembangunan strategis misalnya program luar angkasa, program nuklir, dan ilmu pengetahuan yang berjalan berkelanjutan siapapun presidennya.
Hasan mengingatkan rekomendasi MPR periode lalu hanya terkait menghadirkan kembali haluan negara, tidak merekomendasikan yang lain termasuk soal perubahan masa jabatan presiden-wakil presiden. Menurut dia, kalau ada wacana baru, tentu boleh saja namun harus mulai dari awal lagi.
Wacana mengubah pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden-wakil presiden nampaknya akan berhenti di tengah jalan karena mayoritas fraksi di MPR tidak setuju dengan wacana itu.
Hal itu karena mereka sedang fokus mengenai bagaimana usulan untuk menambah kewenangan MPR dalam membentuk haluan negara berhasil diwujudkan karena hingga saat ini masih ada sikap kontra di masyarakat.
Selain itu, masa jabatan presiden-wakil presiden dua periode merupakan esensi utama dari reformasi yaitu adanya pembatasan kekuasaan khususnya masa jabatan presiden.