KPK: DPR Sering Abaikan Hasil Rekomendasi
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif secara terus terang merasa risih pihaknya terus-terusan dianggap tak melakukan upaya pencegahan tindakan korupsi. KPK dianggap lebih sering menggelar operasi tangkap tangan (OTT).
"Saya terus terang kadang agak merasa tidak dihargai, termasuk oleh bapak-bapak. Dibilang 'Ah pencegahan KPK itu enggak pernah melakukan apa-apa', we do a lot tapi nggak pernah ditulis juga ditulis juga oleh teman-teman media di atas, kalau OTT oh tulis banget," tegas Laode M Syarif di ruang rapat Komisi III DPR RI, Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Laode mengatakan selama ini KPK sudah melakukan berbagai upaya tindakan pencegahan korupsi di berbagai lembaga maupun kementerian. Namun, kerja keras itu seperti tidak dilihat dan DPR sebagai lembaga pengawas juga kerap mengabaikan rekomendasi KPK.
"Yang dikerjakan parlemen untuk mengawasi hasil rekomendasi yang disampaikan oleh KPK, ada yang diikuti, ada yang tidak diikuti bahkan ada yang tidak diindahkan," ucap Laode.
Flow Meter Kementerian ESDM
Laode lantas mencontohkan salah satu rekomendasi KPK yang diabaikan yaitu rekomendasi kepada Kementerian ESDM terkait proyek pemasangan flow meter atau pengukur produksi migas. Pihaknya sudah merekomendasikan supaya proyek tersebut dihentikan karena dinilai tidak efektif.
"ESDM dulu mereka ingin memasang flow meter di pipa untuk ukur berapa lifting minyak dan gas di Indonesia, kita sudah bilang itu enggak boleh karena itu enggak akan efektif. Kajiannya tetap dilaksanakan," kata Laode.
Seperti dilansir Kontan, pemasangan alat ukur produksi ini dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 39 Tahun 2016 tetang Sistem Monitoring Produksi Minyak Bumi Berbasis Online Real Time pada Fasilitas Produksi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Namun dalam pelansanaannya, SKK Migas menghentikan proyek itu karena alat flow meter milik PT Global Haditech tidak akurat dan tidak memberikan performance yang diharapkan.
Akibatnya, PT Global Haditech menggugat SKK Migas ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Lelang proyek flow meter dengan nomor BAC-148/012A-ULP/2017 itu tercantum nilai harga perkiraan mencapai Rp 59,54 miliar dengan anggaran dari APBN 2017.
Adapun pemenang lelang dari flow meter PT Global Haditech adalah yang menawarkan harga Rp 58,19 miliar.
Izin Tambang Ilegal
Selain itu, kata Laode, KPK juga sudah melaporkan kepada DPR bahwa ada lebih dari 10.000 izin tambang di Indonesia, dimana 60 persen dari izin tersebut ilegal. Tapi hal itu tak ditindak lanjuti oleh lembaga legislatif.
Akibatnya, hingga saat ini tidak ada satu pun orang yang dihukum, padahal banyak yang tidak membayar jaminan reklamsi dan tidak menutup lubang tambang.
"Ada yang dihukum? Tak satupun yang ada, bahkan dari ESDM misalnya untuk tambang ilegal saja, kan mereka punya PPNS itu, sampai hari ini tidak ada satu ksus pun yang diselidiki dan dilidik," ujar Laode.
Rekomendasi Soal HGU Juga Diabaikan
Selain ESDM dan lahan ilegal, Laode juga menyinggung soal tak dihiraukannya rekomendasi KPK terkait dokumen Hak Guna Usaha yang dikuasai sejumlah pengusaha. Saat itu, lembaga antirasuah meminta agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) agar membuka dokumen HGU kepada publik.
"Padahal itu adalah keputusan pengadilan tertinggi sudah dikuatkan, sampai hari ini HGU tidak dibuka untuk umum," kata Laode.
Sikap Kementerian ATR/BPN bertolak belakang dengan kebijakan Presiden Joko Widodo mengenai peta satu data atau one map policy. Karena dengan adanya kebijakan teresebut seharusnya dokumen HGU bisa dibuka untuk publik.
Sebelumnya, MA pernah memutus perkara dengan mewajibkan pemerintah untuk membuka dokumen perizinan hak guna usaha perkebunan sawit di Kalimantan. Putusan itu diketok pada 6 Maret 2017 dengan nomor register 121 K/TUN/2017.
"Bahkan, saya beritahu di sini, yang baru siap itu Kalimantan Tengah. Makanya kita pilih habis ini tolong Papua saja yang masih sedikit (HGU-nya) supaya bisa diselamatkan," kata Laode.