Korban Pelanggaran HAM Diusulkan Diberi BPJS Kelas 1 dan Bebas PBB
Jakarta, era.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berpendapat inilah saatnya negara mengambil keputusan dengan mempertimbangan beberapa jalur atau mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Pernyataan pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD yang akan melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini dengan cara non yudisial tanpa mengabaikan mekanisme yudisial, atau sebaliknya perlu mendapat dukungan.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengusulkan langkah pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu ini mungkin bisa dimulai dengan bertanya kepada para korbannya, model penyelesaian seperti apa yang mereka kehendaki.
“Setelah mendengar, pemerintah harus segera mengambil keputusan model yang diterapkannya. Apapun model penyelesaian yang dipilih berpotensi menimbulkan pro kontra. Namun, bila sulit sampai pada pilihan mekanisme yang ideal, jalan tengahnya adalah mekanisme yang paling mungkin untuk diterapkan. Di sini pemerintah dituntut untuk memiliki keberanian dalam mengambil keputusan” ujar Edwin pada saat konferensi Pers memperingati Hari Hak Asasi Manusia di Kantor LPSK, Jakarta Timur, Selasa (10/12).
Edwin menyatakan ada baiknya imajinasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dibatasi mekanisme formil yudisial maupun non yudisial. Karena akan berkonsekuensi pada proses yang panjang, penuh tantangan serta berpotensi menuai banyak polemik.
“Namun pemerintah tetap harus menyediakan ruang pada mekanisme penyelesaian yang menggunakan pendekatan hukum baik melalui pengadilan HAM dan atau KKR sebagai jalan pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi” tegas Edwin
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi kembali mengusulkan jika ada baiknya pemerintah juga memfasilitasi affirmative action kepada para korban pelanggaran HAM berat ini untuk mendapatkan kebutuhan mendasar berupa jaminan kesehatan (BPJS) kelas satu dan pembebasan pajak.
“Mengingat usia sebagian besar korban yang makin senja. Pemerintah daerah juga bisa membuat kebijakan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu keistimewaan hak yang diperoleh para korban pelanggaran HAM berat” pungkas Edwin
Dalam kesempatan yang sama Wakil Ketua LPSK Manager mengusulkan setidaknya ada tiga langkah yang bisa ditempuh pemerintah dalam rangka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Menurut Manager setiap pelanggaran HAM berat menimbulkan hak atas reparasi (pemulihan) bagi korbannya. Salah satu bentuk reparasi yaitu permintaan maaf. Pemerintah dapat menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi.
“Permintaan maaf ini setidaknya merupakan bentuk keinsyafan negara pernah memperlakukan warganya secara tidak manusiawi, yang bertentangan dengan kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin HAM.” Kata Manager
Selain itu pemerintah dapat membuat memorialisasi. Langkah ini dapat dijadikan momentum bersama sebagai bangsa untuk mempertahankan ingatan dan peringatan agar peristiwa yang sama tidak terulang.
Usulan selanjutnya menurut Manager pemerintah dapat memberikan bantuan kepada para korban dengan pendekatan Rehabilitasi psikososial seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU No. 13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapatkan bantuan medis dan psikologis.
“Namun pemenuhan rehabilitasi psikososial hanya mungkin bila terjadi kerjasama antara LPSK dan Kementerian/Lembaga terkait” tutur Manager
LPSK berpendapat ini saatnya pemerintah melakukan aksi nyata dengan menyediakan mekanisme pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM berat dan mengakhiri impunitas (peniadaan hukuman), mengenang peristiwa tersebut untuk menjadi memori bersama dan sekaligus memenuhi hak para korban sebagai langkah yang simultan dan tak saling menyandera. Sudah saatnya kita memuliakan kedudukan para korban sebagaimana mandat konstitusi untuk menjamin HAM setiap warganya.