100 Hari Jokowi-Ma'ruf dan Cita-Cita Pertumbuhan Ekonomi
Direktur Riset Centre of Economic Reform (Core) Piter Abdullah menilai, kalangan pebisnis dan pelaku ekonomi pesimis dengan target tersebut. Berkaca dari periode pemerintahan lalu, pertumbuhan ekonomi hanya stagnan di angka 5 persenan.
Piter mengatakan, banyak kebijakan yang diambil berakibat pada menurunnya daya beli masyarakat, penurunan harga komoditas dan dampak pelemahan global membuat pertumbuhan ekonomi jauh panggang dari api.
Contohnya, menaikkan cukai rokok dan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, penyesuaian tarif tol, dan perubahan pola penyaluran subsidi gas elpiji.
“Kebijakan-kebijakan yang diambil justru bersifat menahan pertumbuhan ekonomi,” ujar Piter kepada era.id, Jumat (31/1/2020).
Terkait dengan kenaikan cukai rokok dan iuran BPJS, Piter menilai kebijakan itu lebih didorong oleh keinginan untuk mengurangi defisit APBN. Padahal, menurutnya, selama dua tahun terakhir ini Jokowi sangat berupaya untuk memacu pertumbuhan penerimaan pajak dan non-pajak dalam rangka mengurangi defisit APBN, sekaligus menahan pertumbuhan utang.
“Ini yang membuat saya menyimpulkan Presiden Jokowi sudah kehilangan keberaniannya. Kritik yang selama ini ditujukan kepada pemerintah terkait dengan defisit APBN dan semakin besarnya utang pemerintah ditanggapi dengan kebijakan yang mengorbankan pertumbuhan ekonomi,” papar Piter.
Tapi ada juga kebijakan yang patut diapresiasi. Misalnya, ketegasan Jokowi dalam menghadapi diskriminasi Uni Eropa terhadap produk CPO yaitu dengan kebijakan B20 dan B30 berdampak sangat positif terhadap perkembangan harga CPO di pasar global.
Selain itu, kata Piter, perbaikan harga CPO juga akan meningkatkan nilai ekspor non-migas sekaligus mengurangi nilai impor migas. “Hal ini, pada gilirannya nanti akan sedikit memperbaiki neraca perdagangan,” ucapnya.