Bisa Jadi COVID-19 adalah Cara Semesta Beri Waktu Bumi Bernapas

Jakarta, era.id – WHO telah menyatakan virus korona baru atau COVID-19 sebagai pendemi global, karena sudah merebak di 100 negara dengan jumlah korban mencapai ribuan orang. Akibatnya banyak negara mengambil langkah lockdown dan physical distancing kepada warganya untuk mengurangi penularan yang lebih masif.

Virus ini tentunya sangat merugikan. Banyak negara yang mengalami krisis ekonomi karena diberlakukannya kebijakan tersebut. Akan tetapi, segala tragedi pasti punya sisi terangnya. Selain kita jadi lebih peduli terhadap kebersihan, kita juga telah memberi waktu kepada bumi untuk bernafas sejenak.

Citra satelit NASA melaporkan adanya penurunan jumlah polusi udara di sejumlah negara. Di China misalnya, dari data yang dikumpulkan oleh satelit Sentinel-5 ESA menunjukkan penurunan nitrogen dioksida yang signifikan. Gas yang sebagian besar dihasilkan mobil, truk, pembangkit listrik, dan sejumlah pabrik itu lenyap saat dilihat pada 20-25 Februari 2020. China sendiri mulai memberlakukan lockdown di Provinsi Hubei pada 23 Januari 2020.

Padahal satu bulan sebelumnya, 1-20 Januari 2020, citra satelit menangkap kadar polusi di udara masih cukup tinggi. Selain itu, China juga tercatat sebagai negara dengan tingkat pencemaran udara tertinggi dunia. China sedikitnya menyumbang 30 persen dari total emisi CO2 di dunia setiap tahunnya.

Selain China, Hong Kong juga mengalami dampak positif selama virus korona menyerang. Di negara itu, polusi udara utama turun hampir sepertiganya. Terhitung dari Januari hingga Februari. Begitu pula di Italia kini memiliki kualitas udara yang lebih bersih usai memberlakukan kebijakan lockdown.

Berdasarkan citra satelit ESA's Sentinel-5P, konsentrasi nitrogen dioksida di Italia yang diproduksi oleh mobil dan pembangkit listrik mengalami penurunan drastis sejak 1 Januari hingga 12 Maret 2020. Sejak 11 Maret 2020, Italia sudah menerapkan lockdown total.

Tak hanya berkurangnya polusi udara saja, di Kanal Venesia pemandangan terlihat jauh lebih asri dibanding ketika kanal-kanal itu ramai oleh pengunjung. Saking asrinya, air pun menjadi sangat jernih dan berwarna biru, sampai-sampai kita bisa melihat ikan-ikan kembali berenang.

Sayangnya, meskipun berhasil mengurangi konsumsi dan emisi di planet bumi, para ilmuwan berpendapat pandemi global ini takkan mampu mengembalikan manfaat lingkungan, terutama dalam hal menekan perubahan iklim.

Dilansir dari VICE, Gavin Schmidt selaku ilmuwan iklim dan direktur NASA Goddard Institute for Space Studies di New York menyarankan agar kita jangan terlalu berbahagia dulu dengan manfaat virus korona terhadap lingkungan. Menurutnya, yang berkurang hanyalah polutan berumur pendek yang kebanyakan berasal dari kendaraan.

“Listrik masih nyala, penggunaan internet makin tinggi, dan pembangkit listrik menyumbang sepertiga emisi karbon,” kata Schmidt.

Menurut Schmidt, emisi gas rumah kaca di sektor tertentu mungkin turun, tapi ada peningkatan di sektor lain karena dunia masih menyesuaikan diri dengan pembatasan terkait COVID-19. Adapun yang dimaksud dengan penyesuaian adalah kita menggunakan banyak energi selama di rumah, lebih banyak daripada biasanya. Sehingga perubahan emisi hanya beralih dari komersial ke perumahan.

Bahkan jika emisi tahunannya berkurang drastis, Schmidt mengatakan dampaknya pada perubahan iklim takkan berarti besar. “Siklus karbon akan bertahan ketika kita menambahkan sesuatu,” terangnya. “Ibaratnya kayak bathtub: Akan semakin banyak jika terus diisi.”

Tapi jangan segera juga bersedih, Schmidt mencatat perubahan jangka pendek semacam ini dirasakan masyarakat dan ilmuwan, sehingga dapat memicu orang untuk menilai kembali bagaimana gaya hidup normal masing-masing yang berlebihan dapat memengaruhi kesehatan publik.

“Kalian sudah terbiasa dengan tingkat polusi tinggi,” ujarnya. “Sehingga ini mengatur ulang baseline semua orang. Kalian akhirnya berpikir, ‘Oh begini ya rasanya punya udara dan air bersih'."

“Dan ketika semuanya kembali kotor, mereka diharapkan dapat menyadari seberapa besar masalahnya,” Schmidt menambahkan. “Saya rasa akan ada semacam reset dari pergeseran baseline ketika kita keluar dari situasi ini.”

Tag: covid-19