Pimpinan DPR Tolak Pasal Penghinaan Presiden
Jokowi tengah menyampaikan pidatonya siang itu, Jumat (2/2), ketika suara peluit tiba-tiba terdengar, dibarengi dengan Zaadit yang bangkit dari duduknya sambil mengangkat sebuah buku bersampul kuning yang ia simbolkan sebagai kartu kuning.
Menurut Zaadit, aksinya itu adalah bentuk peringatan kepada Jokowi yang memasuki tahun keempat kepemimpinannya. Sebab, masih begitu banyak permasalahan bangsa yang belum terselesaikan.
Terpicu aksi Zaadit, wacana penyertaan pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP kembali panas. Dalam draf RKUHP per Januari 2010, disinggung pemidanaan penghinaan terhadap Presiden yang dituangkan dalam Pasal 263 dan 264.
Melawan semangat demokrasi
Terkait itu, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon angkat bicara. Ia menyebut penyertaan pasal penghinaan presiden bertentangan dengan semangat demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.
Menurutnya, sebagai negara demokrasi, Indonesia tak membutuhkan landasan hukum semacam itu. "Nanti akan membuat demokrasi kita mundur lagi dan sudah diatur. Kalau menghina kan ada aturannya. Dan itu harus dibuktikan. Jangan jadi pasal karet,” ungkap Fadli di Jakarta, Sabtu, (3/2/2018).
Soal wibawa, Fadli malah meminta kepada siapa pun yang menjadi presiden Indonesia untuk fokus pada kinerja. Sebab, dengan menunjukkan kinerja yang baik, kewibawaan akan terbangun dengan sendirinya.
“Diktator itu kalau membuat kewibawaan dengan hukum besi. Kalau di demokrasi kewibawaan itu bukan dari hukum besi yang kemudian melindungi dari kritik,” kata Fadli.
Terkait itu, Mahkamah Konstisusi (MK) pun sejatinya telah menyatakan pasal penghinaan presiden inkonstitusional. MK pun telah membatalkan pasal tersebut dan telah dituangkan dalam putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006.