Ternyata Ini Alasan Wanita di Pulau Kihnu Mampu Bertahan Tanpa Pria

Jakarta, era.id - Sejatinya wanita adalah sosok mandiri, namun pada hakikatnya tetap membutuhkan pria. Tetapi, berbeda dengan wanita di Pulau Kihnu, sebuah kepulauan yang terletak di Estonia, Eropa Utara yang menjalankan sistem matriarki atau dominasi kepemimpinan wanita. 

Meski sistem ini sangat langka pada era modern, namun perempuan di Pulau Khinu masih menjalankan tradisi tersebut. Pulau kecil ini terletak di bagian Kihnu Parish yang masuk dalam jajaran tujuh pulau terbesar di Teluk Riga. 

Di sini pemandangan alam didominasi pantai dan hutan-hutan indah. Para pengunjung akan disambut dengan kebudayaan yang dijalankan oleh masyarakat Pulau Khinu. Selain itu, hal yang paling disenangi adalah banyaknya wanita yang tinggal di sana.

Para wanita yang hidup di pulau Kihnu di Estonia rata-rata bekerja sebagai bertani hingga berburu anjing laut. Yang bikin salut, para wanita di sini melakukan semua pekerjaan berat dengan sendiri tanpa bantuan pria.

Selama berabad-abad, Pulau Kihnu memiliki kekuasaan penuh atas warganya sekitar 600 orang. Mayoritas profesi pria di sini adalah seorang nelayan yang mengharuskan mereka pergi berbulan-bulan dan harus meninggalkan anak dan istri. Bagi yang sudah menikah, perempuan Kihnu menganggap suami berperan penting untuk mendapatkan penghasilan dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Makanya para wanita di sini menjalankan segala profesi, termasuk pekerjaan berat yang didominasi pria. Mereka bisa melakukan pekerjaan seperti memperbaiki traktor rusak, pemimpin ibadah saat para pastor tak ada, beternak, bermusik, mengajar sekolah, hingga berbagai kegiatan lain yang memastikan mereka bisa bertahan hidup selama ditinggal oleh pria.

Selain itu, mereka sangat pandai bekerja di toko kerajinan tangan, seperti tembikar, sarung tangan, dan souvenir.

Ada satu profesi yang tidak bisa dilakukan perempuan Kihnu, yakni penggali kubur. Direktur museum Pulau Kihnu, Maia Aav berujar pernyataan itu perlu diragukan karena enggak ada yang bisa mengklaim apakah para wanita Kihnu benar-benar tidak bisa menggali jika ada yang meninggal saat ditinggal oleh suaminya.

Sejak abad ke-19, peran para pria di Pulau Kihnu telah memudar, sebab memancing dan berburu anjing laut butuh waktu yang lama sampai berbulan-bulan. Maka dari itu, para wanita mengambil ahli dan menjalankan peran penting dalam komunitas.

Kemudian, sistem ini jadi kebudayaan dan tradisi pada sejarah warisan masyarakat Kihnu. Kehebatan ini membuat Pulau Kihnu tercatat sebagai UNESCO Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity atau Warisan Kemanusiaan secara Lisan dan Takbenda dari UNESCO pada tahun 2003.

Pada 2008, UNESCO mencatat Kihnu ke dalam Daftar Perwakilan dari Warisan Budaya Takbenda dan Kemanusiaan. Sehari-hari wanita di Kihnu kerap mengenakan busana alat tradisonal, yakni rok garis-garis dengan warna vibrant atau yang disebut kort.

Mereka memadukan kort dengan atasan kaos atau blouse sesuai kebutuhannya. Para wanita yang sudah berumah tangga akan mengenakan kort yang dipadukan dengan apron celemek. Hal ini dilakukan untuk membedakan mana yang jomlo dan sudah berumah tangga. Rata-rata wanita di sini memakai kerudung dan rok merah dengan pola serta garis bunga. 

Kegiatan merajut jadi kegiatan penting bagi wanita Kihnu, sebab tradisi ini telah diwariskan turun temurun. Supaya lebih asyik, mereka juga suka bernyanyi dan menari diiringi dengan musik folk yang khas. Sampai saat ini, wanita di Pulau Kihnu menjadi pelindung bagi kebudayaan yang ada di sana.

Sekarang mereka merasa khawatir, sebab kemajuan teknologi yang takutnya berdampak pada budaya yang luntur. Perubahan dalam industri perikanan membawa tekanan baru, yakni para pria jadi tinggal di rumah dalam jangka waktu yang lebih lama.

Sebagian penduduk di sana memilih untuk menetap, karena mereka tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan. Tetapi, sudah banyak masyarakat yang pergi ke tempat lain untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan. 

Mendengar kabar itu, perempuan Kihnu enggak patah semangat dan tetap melakukan pekerjaan yang ada biar bisa bertahan hidup dan menjaga tradisi. Mereka juga mendirikan Yayasan Ruang Budaya Kihnu yang diperuntukkan sebagai ajang promosi dan melindungi sejarah dan tradisi pulau lewat berbagai festival, acara, dan inisiatif pendidikan.

“Kami punya mental berbeda dengan orang-orang di daratan. Wanita Kihnu selalu melakukan yang terbaik untuk keluarga, yang terpenting buat anak-anak,” ungkap Maia Aav yang dikutip dari The New York Times pada Senin (18/5/2020),

Maia memahami kalau Pulau Kihnu enggak cocok buat destinasi wisata yang masif. Namun, jika ada pengunjung di sini mereka melakukan apresiasi budaya dan gaya hidup atau hanya tertarik mencari tahu. Ia berharap pengunjung menerima kultur dan budaya mereka, tanpa mengubahnya. Hal ini supaya para pengunjung bisa diterima oleh penduduk setempat. 

Sayangnya, budaya ini menjadi sulit dilestarikan oleh kaum muda yang sebelumnya pergi meninggalkan Pulau Kihnu untuk mengejar pendidikan tinggi dan sering tidak pernah kembali. Kihnu menjadi pulau yang diminati oleh wisatawan Eropa dikala musim panas.

Tag: