Pemerintah Tegaskan Indonesia Tak Pakai Herd Immunity Lawan COVID-19
Wiku mengatakan, Indonesia diibaratkan kelompok besar yang terdiri dari 270 juta orang. Setelah itu kelompoknya dibagi-bagi ke dalam pulau dan provinsi yang terpisah laut ada juga yang di dalam daratan. Jika ingin herd immunity, maka perlu mobilitas dan interaksi yang tinggi antar masyarakat untuk dapat membentuk kekebalan kelompok terhadap COVID-19.
"Kita berpikir logika gimana caranya ya, antar pulau pulaunya beda saling bisa menulari, kalau enggak mobilitas antar pulaunya tinggi terus interaksinya tinggi, itu yang dipahami," kata Wiku di BNPB, Selasa (2/6/2020).
Wiku juga menampik jika saat ini pemerintah saat ini sedang menerapkan herd immunity, yang ada adalah adaptasi Ko-eksistensi. "Ada yang menyebut pemerintah sedang melakukan herd imunity. Itu akan perlu waktu bertahun-tahun dan tidak serta merta. Teorinya seperti itu," sambungnya.
Wiku menjelaskan ketika satu orang terinfeksi virus kemudian di dalam tubuhnya terbentuk kekebalan, lalu orang-orang lain di lingkungannya juga mengalami hal serupa karena terinfeksi virus dari orang pertama, maka kekebalan yang terjadi di antara sekelompok orang itu yang disebut sebagai herd imunity dalam kelompok.
Apakah kekebalan kawanan bisa terjadi di Indonesia? Wiku mengatakan Indonesia memiliki kelompok-kelompok besar yang dipisahkan oleh pulau dan laut. Herd immunity hanya bisa terjadi bila terdapat interaksi tinggi di antara kelompok-kelompok tersebut.
Menurut Wiku, virus korona jenis baru penyebab COVID-19 menular melalui droplet yang bisa dicegah dengan menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Meskipun seseorang berada di lingkungan yang terinfeksi, selama virus tidak masuk ke dalam tubuh maka tidak akan tertular.
"Kalau kita senggol-senggolan, tetapi kita menutup diri dengan masker, kemudian rajin mencuci tangan, herd imunity tidak akan terbentuk," ujarnya.
Wiku mengatakan kekebalan kawanan bisa dibuat dengan melakukan imunisasi terhadap masyarakat. Menurut teori, bila 70 persen masyarakat memiliki kekebalan, termasuk melalui imunisasi, maka virus tidak akan bisa menulari kelompok tersebut.
Namun, membuat vaksin memerlukan waktu yang lama. Karena itu, tidak perlu menunggu vaksin, yang paling penting adalah upaya preventif untuk mencegah interaksi dengan virus korona penyebab COVID-19 secara langsung.
"Menggunakan logika yang sama, bila 70 persen masyarakat melindungi diri dengan menggunakan masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan, virus juga tidak akan bisa menulari kelompok tersebut," tuturnya.
Karena itu, Wiku mengingatkan kembali arti penting protokol kesehatan yang selama ini sudah sering disosialisasikan. Kunci mencegah penularan COVID-19 adalah dengan disiplin dan tertib menjalankan protokol kesehatan.
"Protokol kesehatan harus dipraktikkan secara disiplin dan tertib secara individu dan kolektif. Selama kita bisa tertib dan disiplin terhadap protokol kesehatan, kita tetap akan bisa beraktivitas secara produktif dan aman dari COVID-19," ucapnya.