Semua Fraksi Dukung Pasal Penghinaan Presiden
This browser does not support the video element.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, dalam rapat tim perumus beberapa waktu lalu, tidak ada fraksi yang menolak pasal ini.
"Kemarin rapat timus (tim perumus) yang hari terakhirnya Pak Benny (Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman), semuanya kan setuju tidak ada yang menolak," ucap Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Arsul menuturkan, perdebatan justru terjadi di ranah jenis delik untuk pasal tersebut.
"Kita belum sepakat soal itu delik aduan dan delik biasa," ungkap Arsul.
Fraksi PPP, kata Arsul, mengusulkan penghinaan presiden ini masuk ke dalam jenis aduan. Namun, pemerintah masih berkukuh pasal tersebut masuk ke dalam delik umum atau biasa.
"Kami pun PPP menyarankan masuk delik aduan. Tapi kan pemerintah masih tetap berpandangan itu masuknya umum biasa," kata Sekjen PPP ini.
Kolega Arsul, Taufiqulhadi mengatakan, pasal ini bukan ditujukan secara khusus untuk Joko Widodo yang saat ini menjabat sebagai presiden. Namun, untuk kepentingan masa depan yang lebih jauh.
"Jangan sekali-kali berpikir bahwa ini untuk melindungi presiden yang sekarang. Kalau presiden itu terpilih lagi, kalau tidak? Kan ini kan baru efektif dua tahun setelah disahkan. Kedua, RKHUP ini untuk seratus tahun yang akan datang, jadi kita tidak boleh personal ketika membahas masalah," kata Anggota Komisi III ini.
Pasal seperti ini pernah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Menurut Politikus Nasdem ini, pasal yang dihapus itu berbeda dengan pasal yang sedang digodok kini.
"Dulu itu kan pasal penghinaan di dalam iklim negara kediktatoran. Kalau ini kita bahas dalam iklim demokrasi. Karenanya, ini ada batasan. Jadi nggak bisa disamakan. Itu berbeda sama sekali. Kita enggak boleh menghina. Masa Kepala Negara kita, kita hina?" kata Taufiqulhadi.
Dia berpendapat, tidak semua pasal yang dihapus MK hilang secara permanen. Menurutnya, pasal yang dihilangkan MK itu bisa dilahirkan kembali ke dalam undang-undang baru. Karenanya, pasal penghinaan yang baru ini penting dihidupkan kembali. Dengan alasan, presiden sebagai simbol negara harus dihargai oleh siapapun.
"Tidak ada dasar juga bahwa putusan MK tidak dapat dihidupkan kembali. Saya tunjukan salah satu pasal MK, menyatakan bahwasannya setiap anggota DPD harus bermukim ditempat terpilih, berdomisili di sana tetapi kemudian diubah oleh DPR dan menyatakan bahwa boleh bermukim diseluruh Indonesia," sambungnya.
Adapun pasal yang disepakati itu adalah
Pasal 238 RKUHP
(1) Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori I pejabat.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 239 RKUHP
(1) disebutkan setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp500 juta)
(2) menyebut tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.