Pasal Penghinaan Presiden Masih Mengganjal

This browser does not support the video element.

Jakarta, era.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak pemerintah dan DPR menunda pengesahan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU tentang Hukum Pidana. Pengesahan diminta tidak tergesa hingga semua pasal diatur detail, termasuk kedudukan pasal penghinaan presiden.

"Jika RKUHP tersebut secara terburu-buru disahkan oleh DPR menjadi UU tentang Hukum Pidana, maka UU dimaksud tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan penting di Indonesia yang belum terakomodasi dalam aturan perundang-undangan yang berlaku saat ini," kata Koordinator Badan Pekerja Kontras, Yati Andriyani, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.

Untuk itu, ujar dia, Kontras mendorong Panja Revisi KUHP membahas kembali bersama masyarakat sipil guna mendapatkan masukan untuk sejumlah pasal yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi serta hak asasi manusia.

Dari pemantauan Kontras, kata Yati, terdapat 15 poin bermasalah yang berpotensi mengkriminalisasi warga negara dan melanggar hak asasi manusia dalam draf RKUHP saat ini.

"Alih-alih melakukan penyempurnaan atas kodifikasi hukum pidana itu sendiri serta perbaikan atas kondisi hukum di Indonesia, RKUHP justru lahir dengan semangat penghukuman dan pembatasan hingga ke wilayah privat warga negara," ucapnya.

Hal tersebut, lanjutnya, tidak terlepas dengan pembahasan RKUHP yang kental nuansa politis daripada mempertimbangkan norma aturan dan hukum yang berlaku saat ini.

Dia menegaskan, Kontras juga menemukan fakta tentang adanya upaya memasukkan kembali pasal-pasal yang telah dibatalkan ke dalam RKUHP.

"Itu jelas merupakan bentuk pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dalam proses pembuatan Undang-undang, sebagaimana yang diamanatkan melalui Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," ujarnya.

Kontras menolak upaya menghidupkan kembali pasal yang sudah pernah dihapuskan sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 yakni Pasal tentang Penghinaan Presiden.

Bahkan dalam rumusan RKUHP saat ini, ujar Yati, pasal penghinaan Presiden bisa menjadi delik umum yang berarti siapapun yang dianggap melakukan penghinaan terhadap Presiden, dapat diproses secara hukum tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari korban.

Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi serta membatasi kebebasan berekspresi dan beropini warga negara karena tidak ada aturan yang jelas antara kritik dan penghinaan terhadap Presiden, sehingga dapat diberlakukan secara subjektif oleh aparat penegak hukum.

Sementara Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mendorong Panja RUU KUHP dan pemerintah bisa segera menemukan formulasi terbaik dan diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa dicapai rumusan yang baik yang disepakati antara pemerintah dan DPR tanpa mengenyampingkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Terkait pasal penghinaan presiden, masih ada perdebatan apakah menjadi delik aduan atau delik umum.

Tag: hukuman mati