Survei: Publik Lebih Cemaskan Kondisi Ekonomi Daripada Korona
Pergeseran tersebut ditemukan berdasarkan riset yang dilakukan LSI Denny JA dengan kajian data sekunder dari sejumlah lembaga, yakni Gallup Pol, Worldometer, dan data LSI Riset eksperimental Denny JA dan Eriyanto.
Peneliti LSI Denny J.A, Rully Akbar, mengatakan hasil survei ini bukan survei opini publik, melainkan riset eksperimental untuk menggali lebih detail kekhawatiran responden.
Rully menyebutkan faktor pertama adalah kecemasan ekonomi, yakni meluasnya kemampuan protokol kesehatan dalam mengurangi tingkat pencemaran virus korona. Social distancing, cuci tangan, memakai masker. Tiga cara paling populer dalam protokol kesehatan itu terbentuk pesan kuat walau belum menemukan vaksin, manusia punya alat lain untuk melindungi diri.
"Kecemasan publik atas kesulitan ekonomi kini melampaui kecemasan publik atas terpaparnya virus korona," kata Rully secara daring dari kantornya, Jumat (12/6/2020).
Kedua, data dari VoxPopuli Center, lembaga opini publik Indonesia. Pada tanggal 26 Mei—1 Juni 2020, lembaga ini melakukan survei telepon atas 1.200 responden. Hasilnya 25,3 persen publik khawatir terpapar virus corona. Namun, lebih besar lagi, sekitar 67,4 persen publik khawatir akan kesulitan ekonomi atau bahkan kelaparan.
Alasan ketiga, di sisi lain, tabungan ekonomi umumnya publik luas makin menipis. Makin lama berlakunya pembatasan sosial, ditutupnya aneka dunia usaha, makin berkurang kemampuan ekonomi rumah tangga. Pada saat kecemasan atas terpapar virus korona menurun, kecemasan atas kesulitan ekonomi meningkat.
Alasan keempat, jumlah warga yang secara konkret terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui jumlah warga yang terpapar virus korona. Menaker melaporkan jumlah PHK ditambah yang dirumahkan hingga Juni 2020 sekitar 1,9 juta orang.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melaporkan jumlah yang di PHK mencapai 7 juta orang. Hingga 11 Juni 2020, dari data Worldometer, yang terpapar virus korona di Indonesia sekitar 35.000 orang, sedangkan yang meninggal sekitar 2.000 orang.
"Jika dibandingkan yang terpapar virus ekonomi (PHK, dirumahkan) dengan yang terpapar virus korona, yaitu 7 juta berbanding 35.000. Dengan kata lain, yang terpapar virus ekonomi 200 kali lebih banyak dibandingkan yang terpapar virus corona. Wajar saja jika kecemasan atas kesulitan ekonomi memang lebih masif," kata Rully menerangkan.
Alasan kelima, hingga Juni 2020, makin hari grafik yang terpapar, apalagi yang meninggal karena virus corona, makin landai dan menurun. Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari yang di-PHK, yang mengambil pesangon bertambah dari bulan ke bulan.
Grafik ini, kata Rully, ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus corona melemah, sementara kecemasan atas virus ekonomi meninggi.
Oleh karena itu, Rully mengimbau pemerintah mengantisipasi agar kecemasan atas kesulitan ekonomi tidak memuncak. Dia juga menilai pemerintah perlu lebih menggencarkan kampanye penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat.
"Tugas pemerintah terakhir kampanye protokol kesehatan ketika sudah pemberlakuan pembebasan ekonomi seperti sekarang, tapi harusnya kampanye protokol kesehatannya dua kali lipat ketika ketimbang melakukan itu dalam konteks lockdown. Jadi lebih digencarkan lagi tidak hanya di level pemerintah pusat dan daerah tapi juga melibatkan sebanyak mungkin tokoh masyarakat misalnya endorser, youtuber, aktivis, dan tokoh masyarakat," ucapnya.