54 Guru Besar Desak Ketua MK Mundur
"Hakim dan ilmuwan itu tidak boleh berbuat tidak jujur," ujar Sulistyowati Irianto di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia (STHI) Jentera di Puri Imperium, Jakarta Selatan, Jumat (9/2/2018).
Dosen Antropologi Universitas Indonesia itu menyebut, Indonesia sebagai negara hukum sangat menjunjung tinggi demokrasi dan aturan hukum. Oleh karena itu, hakim di MK tak boleh memiliki catatan hukum--seperti sanksi etik.
Pernyataan sejumlah guru besar itu, kata Sulistyowati, murni merupakan gerakan moral. Tak ada muatan politis.
"We don't care about politic, we are not doing politic. Ini sebatas gerakan moral, kami inginkan negeri ini menjadi lebih baik," ujar dia.
Gerakan moral yang dilakukan puluhan guru besar tersebut bukan kali ini saja. Sebelumnya mereka juga pernah melakukan hal serupa saat menyelamatkan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Bahkan kami turun ke jalan," lanjutnya.
Perwakilan 54 guru besar sampaikan Ketua MK harus mundur. (Suriaman Panjaitan/era.id)
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Herlambang Perdana, mengaku optimistis gerakan moral ini mampu membuat Arief Hidayat mundur dari jabatannya sebagai Ketua MK. Pasalnya, gerakan yang digagas puluhan guru besar ini juga masif dilakukan akademisi lain di Indonesia.
"Insya Allah efektif. Ini teruskan, akhirnya bergelombang. Hari ini di Surabaya juga bergerak. Di Unair lagi ada perjumpaan dari akademisi dari berbagai kampus," tandasnya.
Perguruan tinggi yang terlibat di antaranya dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Hasanudin, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh November, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Andalas.
Ketua MK Arief Hidayat. (Mia/era.id)
Permintaan agar Arief Hidayat mundur sebagai Ketua MK semakin kuat setelah dia diganjar sanksi etik. Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Arief karena terbukti menemui politikus dan anggota DPR pada November 2017 lalu. Pertemuan itu diduga berkaitan dengan pemilihan hakim konstitusi perwakilan DPR dan pemilihan Ketua MK.
Tak hanya itu, Arief juga pernah terbukti mengirimkan katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus kala itu, Widyopramono, untuk membantu salah seorang anggota keluarganya yang menjadi jaksa. Akibat dua pelanggaran yang dilakukan itu, Arief dijatuhi dijatuhi sanksi ringan berupa teguran lisan. (Suriaman Panjaitan)