Empat Pelanggaran dalam Reklamasi Ancol Versi KSTJ
KSTJ yang terdiri dari sejumlah organisasi dan lembaga di antaranya Walhi Jakarta, LBH Jakarta, Solidaritas Perempuan, KIARA, ICEL, RUJAK, Perkumpulan MARE dan KNT Muara Angke.
Eksekutif Daerah Walhi Jakarta, Bagus menjelaskan pelanggaran pertama yakni Pemprov DKI berupaya mengelabui publik dengan menerbitkan izin secara diam-diam pada Februari 2020.
Pemerintah menyatakan proyek tersebut bukan merupakan reklamasi. Padahal kata dia, jika merujuk pada ketentuan UU No 27 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perluasan wilayah Ancol dengan mengonversi wilayah laut pesisir menjadi daratan jelas merupakan reklamasi yang diatur dalam peraturan tersebut.
Pelanggaran kedua, Pemprov DKI dengan sengaja melanggar ketentuan UU Pesisir dan Pulau Kecil dan juga Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu, Pemprov tidak memasukkannya sebagai dasar hukum penerbitan izin dalam bagian menimbang, Pemprov DKI juga melanggar ketentuan reklamasi di dalamnya sebab tidak didasarkan pada Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K).
“Perda RZWP3K merupakan syarat untuk dapat terbitnya izin pelaksanaan reklamasi. Karena
tiadanya dasar hukum perencanaan ruang tersebut, patut diduga adanya pelanggaran pidana tata ruang sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang,” jelas Bagus, dalam siaran persnya, Selasa (14/7/2020).
Pelanggaran atas Perda RZWP3K itu dalam bentuk sanksi pidana dapat berupa penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta serta pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
Pelanggaran ketiga, penerbitan izin juga diduga kuat tidak memenuhi syarat administrasi formil maupun substansial terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Beberapa kewajiban persyaratan yang diatur seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Surat Kelayakan Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan ataupun rencana induk reklamasi harus dipenuhi sebelum penerbitan izin pelaksanaan tersebut terbit.
“Beberapa kewajiban lingkungan tersebut justru baru diamanatkan dalam Kepgub 237/2020 tersebut. Hal ini patut untuk di tindaklanjuti dengan penegakan hukum pidana atas dugaan tiadanya izin lingkungan dalam kegiatan penimbunan yang telah berjalan sejak 2009 sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UU No 32/2009 tentang Lingkungan Hidup,” tegas Bagus.
Pelanggaran keempat, reklamasi Ancol merupakan bentuk perampasan laut berupa konversi kawasan perairan, yang merupakan milik bersama publik. Perairan itu dikonversi dalam bentuk komersialisasi ruang pesisir yang akan merugikan nelayan tradisional dan merusak lingkungan hidup.
Bagus menyatakan koalisi telah melakukan upaya gugatan terhadap reklamasi Pulau I dan Pulau K atas dasar terganggunya wilayah nelayan karena kawasan tersebut adalah satu kesatuan ekosistem teluk Jakarta.
“Sudah berkali-kali disampaikan bahwa reklamasi di teluk Jakarta akan menghilangkan wilayah tangkap nelayan tradisional yang dapat berujung pengurangan pendapatan atau bahkan hilangnya mata pencaharian. Berbagai penelitian juga telah banyak menunjukkan dampak buruk reklamasi bagi ekosistem teluk Jakarta,” kata Bagus.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 237 tahun 2020 tertanggal 24 Februari 2020 tentang izin pelaksanaan perluasan kawasan rekreasi dunia fantasi seluas 35 hektar dan Taman Impian Jaya Ancol Timur seluas 120 hektar sebagai upaya melindungi warga Jakarta dari banjir.